- Judul Asli: 三生,忘川无殇 (Sansheng, Wangchuan Wu Shang)
- Judul Bahasa Inggris: Sansheng, Death Exists Not at the River of Oblivion
- Penulis: 九鹭非香 (Jiu Lu Fei Xiang)
- Terjemahan / Translation: Indonesia
- List Chapter:
- Sansheng, Wangchuan Wu Shang – Chapter 1 [INDONESIA]
- Sansheng, Wangchuan Wu Shang – Chapter 2 [INDONESIA]
- Sansheng, Wangchuan Wu Shang – Chapter 3 [INDONESIA]
- Sansheng, Wangchuan Wu Shang – Chapter 4 [INDONESIA]
- Sansheng, Wangchuan Wu Shang – Chapter 5 [INDONESIA]
- Sansheng, Wangchuan Wu Shang – Chapter 6 [INDONESIA]
- Sansheng, Wangchuan Wu Shang – Chapter 7 [INDONESIA]
- Sansheng, Wangchuan Wu Shang – Chapter 8 [INDONESIA]
- Sansheng, Wangchuan Wu Shang – Chapter 9 [INDONESIA]
- Sansheng, Wangchuan Wu Shang – Chapter 10 [INDONESIA]
- Sansheng, Wangchuan Wu Shang – Chapter 11 [INDONESIA]
- Sansheng, Wangchuan Wu Shang – Chapter 12 [INDONESIA]
- Sansheng, Wangchuan Wu Shang – Chapter 13 [INDONESIA]
- Sansheng, Wangchuan Wu Shang – Chapter 14 [INDONESIA]
- Sansheng, Wangchuan Wu Shang – Chapter 15 [INDONESIA]
- Sansheng, Wangchuan Wu Shang – Chapter 16 [INDONESIA]
- Sansheng, Wangchuan Wu Shang – Chapter 17 [INDONESIA]
- Sansheng, Wangchuan Wu Shang – Chapter 18 [INDONESIA]
- Sansheng, Wangchuan Wu Shang – Chapter 19 [INDONESIA]
Bab 9: Apakah Kita Pernah Saling Kenal?
Tersembunyi dalam bayang-bayang malam, aku bersimpuh di bawah pohon plum dan mendengarkan percakapan mereka.
“Senior!” ucap si pendeta wanita gelisah, “Siluman serigala kini akan menyerang, kenapa kau masih membiarkan siluman perempuan yang tidak jelas asal-usulnya itu untuk tetap berada disini. Kita harus segera menyingkirkannya!”
Aku menghela napas. Sudah berapa ribu kali ku bilang, asal usulku memang tidak jelas, tapi aku betul-betul bukanlah seorang siluman! Padahal sudah ku hancurkan Pagoda Seribu Kunci, masa masih belum bisa membuktikan identitas ku! Otak tumpul! Manusia benar-benar bodoh!
Belum selesai aku menghela napas, ketika aku melihat sosok Zhonghua terlihat seperti doyong: “Masalah ini, kita bahas lagi lain waktu.” Suaranya terdengar agak serak dan lemah, sepertinya dia terlalu banyak minum—
Dia sedang mabuk.
Pendeta wanita itu malah enggan melepaskan topik ini : “Apakah Senior jangan-jangan jadi merasa kasihan melihat penampilan lemah siluman itu?”
Zhonghua mulai marah, dia melepaskan tangannya dan berujar dengan nada yang mulai meninggi : “Omong kosong!”
“Baguslah kalau memang hanya omong kosong.” Wanita tersebut berkata sinis, “Senior jangan lupa, kala itu karena rasa kasihan lah Guru menerima siluman rendahan Hu’yi sebagai murid, yang akhirnya mengakibatkan bencana di Liubo 20 tahun yang lalu. Qingling berdoa agar Senior tidak mengulangi kesalahan Guru.”
Zhonghua terdiam sesaat, dia lambaikan tangannya: “Kamu kembali masuk sana.”
Aku merenung sembari cemberut. Dari perkataan pendeta wanita tadi, sepertinya siluman serigala Hu’yi adalah seseorang yang tidak tahu terimakasih, seseorang yang membalas kebaikan dengan kejahatan, murid yang jahat dan kejam, tapi berdasarkan pengalaman ku yang tak terhitung jumlahnya dalam menginterogasi hantu-hantu di tepi sungai Wangchuan, Hu’yi bukanlah pribadi yang seperti itu.
Hmm, 20 tahun lalu tampaknya ada kisah yang tersembuyi!
Setelah si pendeta wanita Qingling pergi, Zhonghua berdiri di sudut yang gelap itu sendirian untuk beberapa saat, kemudian dia berjalan perlahan seraya menopang badannya ke dinding, dan pergi menuju tempat dia tinggal.
Melihat sosok punggungnya yang tampak kesepian, aku menghela napas.
Di kehidupan sebelumnya, setiap Moxi tertatih ataupun terjatuh, aku selalu berada di sisinya untuk menyayanginya dan melindunginya, tak pernah aku biarkan dia merasa sedih dan kesepian. Tetapi Moxi di kehidupan kali ini, meskipun dia menjadi Yang Mulia Zhonghua yang maha agung, bahkan ketika dia mabuk tidak ada seorangpun yang membantu nya. Kalau dipikir seperti ini, masih lah lebih nyaman Chang’an yang saat ini sedang tertidur di tempatku.
“Siapa di situ?” Di menoleh ke belakang dengan garang.
Aku mengedip-ngedipkan mata, semakin yakin bahwa dia setiap harinya pasti melewati masa-masa yang sulit. Bahkan setelah dia mabuk pun, desahanku yang amat lembut masih bisa mengundang perhatiannya, sepertinya dia sudah terbiasa memiliki tingkat kewaspadaan yang sangat tinggi.
Setelah tidak mendengar ada yang menjawab panggilannya, Zhonghua menopang badannya dan dengan perlahan berjalan mendekat. Aku tidak bisa menghindar, maka dengan terang-terangan aku melangkah keluar, dan menyapanya sembari tersenyum: “Yo! Selamat malam.”
Dia melihatku, lalu mengernyitkan dahinya dengan galak, kemudian dia berbalik badan dan pergi. Seperti baru saja melihat benda yang teramat menjijikan. Dia berjalan mengambil langkah-langkah besar, tidak lagi tergopoh-gopoh mabuk seperti sebelumnya.
Aku tertegun sejenak, hatiku merasa sangat geram. Apakah aku sedemikian buruk rupa, sehingga kau harus lari menghindar seperti itu?
“Tunggu dulu!” teriakku lantang.
Dia justru melangkah lebih cepat, sosoknya tak lagi terlihat dalam dua langkah kakinya.
Amarahku semakin membara. Mau bersembunyi? Aku ingin lihat bagaimana kamu akan bersembunyi dariku!
Aku bergegas kembali ke pondok ku yang lusuh, dan menyeret keluar Chang’an yang sedang tertidur nyenyak dari selimutnya. Dia kedip-kedipkan matanya yang masih mengantuk, belum sepenuhnya menyadari apa yang sedang terjadi. Aku mernyeringai kepadanya : “Chang’an, bisakah kau membantuku?”
Dia lantas menoleh menatap ke arahku, terpaku cukup lama, lalu memekik ketakutan dua kali, kaki dan tangannya dengan panik berusaha menutupi tubuhnya agar tidak bisa ku lihat.
Dengan garang aku tarik kerahnya dan menyeretnya keluar, ke tempat yang paling dekat dengan kamar tidur Zhonghua. Ku tepuk-tepuk mukanya yang berlinang air mata dan berkata: “Menangislah, menangislah yang kencang.”
Dia menatapku, terpaku.
Aku tersenyum, senyuman yang cerah dan penuh nafsu: “Setelah aku renung-renungkan, yang milikmu meskipun sedikit, tetapi masih lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Meskipun hatiku sudah menjadi milik Yang Mulia mu, tetapi aku sulit menahan hasrat tiap kali melihat parasmu yang tampan. Hari ini kau turuti lah keinginan ku.”
Chang’an terlihat seperti baru disambar petir, benar-benar ketakutan.
Kalau dipikir, wajar dia ketakutan seperti itu. Di tengah malam, ada makhluk yang tidak jelas asal usulnya, menerobos masuk ke dalam kamar tidur kemudian menangkapnya, lalu berkata akan menyambarnya. Siapapun pasti akan terperanjat. Maka aku biarkan dia tertegun sejenak, sampai akhirnya hatiku puas mendengar jeritan Chang’an yang melolong:
“Tidaaaak!” Dengan kakinya yang lemas, dia merangkak menuju batas penghalang, menggebrak-gebrak dinding medan penghalang yang dibuat dari sihir, sembari menjerit: “Yang Mulia tolong aku! Yang Mulia tolong aku! Yang Mulia! Chang’an masih terlalu muda! Chang’an tak mau mati!”
Dia terus menerus menangis, sampai akhirnya Yang Mulia junjungannya keluar dengan memegang dahi dan bermuka masam. Dia mengerutkan keningnya sembari menatap Chang’an, “Bagus!”
Menurut hemat saya, kalau dibandingkan dengan Yang Mulia yang langsung terbirit begitu melihat ku, beliau juga tidak kalah ‘bagus’nya dengan Chang’an.
Aku tersenyum ketus, ku tendang bokong Chang’an yang masih tergeletak di tanah. “Sudah cukup, kini ada Yang Mulia yang akan menggantikanmu, malam ini kau bebas. Pergi sendiri sana dan kembali tidur!”
Chang’an memandang ke arah Zhonghua, lalu melihat ke arahku, mengamati seperti ada pengertian di antara kami berdua, dia kemudian merangkak dengan tergesa-gesa dan berlari tanpa sekalipun menoleh ke belakang.
Aku pandangi Zhonghua, sembari tersenyum penuh kemenangan. Dia mengusap-usap dahinya dan bertanya tanpa melihat ke arahku: “Ada apa?”
“Tidak ada apa-apa.”
Pembuluh darah di punggung tangannya berkedut. Dia tidak mengucapkan apapun lagi lalu beranjak pergi.
Sebelum dia pergi keluar dari penghalang, aku cepat-cepat meraih lengan bajunya yang lebar. Mungkin karena dia sedang mabuk, reaksinya menjadi lebih lambat, sehingga aku bisa menangkapnya. Aku bertanya kepadanya: “Mengapa kamu bersembuyi dariku? Aku toh tidak akan memakanmu.”
“Aku tidak bersembunyi.” Jawabnya, “Kamu adalah tawanan Liubo…”
“Betul sekali, akulah yang sedang dipenjara, yang harusnya bersembunyi adalah aku. Maksud kamu apa dengan begini? Apakah ada bisul, atau bulu hitam lebat di mukaku? Apakah matamu lantas akan membusuk dan tumbuh belatung kalau melihatku? Apakah akan muntah dan diare? Sekujur tubuh berdarah-darah? Apakah a…”
Aku belum selesai berbicara, tetapi dia menarik napas dalam-dalam kemudian berbalik untuk melihatku. Tatapan nya jujur dan sederhana yang menunjukkan ketegaran dan keinginannya untuk membuktikan dirinya sendiri. Tetapi aku tidak sesederhana dia.
Aku bisa melihat dalam pancaran matanya yang jernih; cahaya bintang-bintang di langit, kilauan salju putih dan wangi bunga plum yang tesemat, dan juga sosok bayanganku.
Semuanya jelas terpatri di dalam matanya.
Sudah lama aku tidak melihatnya menatapku tajam seperti ini. Aku tak mampu menahan langkahku untuk maju ke depan, dan mendekatinya. Tanganku yang menggenggam lengan bajunya kemudian meraih telapak tangannya.
Aku melihat bayangan diriku tersenyum di matanya. Matanya berubah lembut, dia tidak menepis tanganku. Membuat senyumku semakin melebar.
“Harum mewangi yang tersemat, kilauan salju, dan juga kamu, Sansheng tidak ada penyesalan dalam hidup.”
Harum mewangi yang tersemat, kilauan salju, dan juga Sansheng, Moxi tidak ada penyesalan dalam hidup. Kata-kata ini diucapkan Moxi kepadaku di kehidupan yang sebelumnya.
Mendengar perkataanku, dia tertegun sejenak dan mengerutkan keningnya. Lalu seolah seperti tersadar kembali, tiba-tiba dia mendorongku, yang justru menyebabkan dia tergelincir dan jatuh di atas salju. Ekspresi wajahnya terlihat sedikit panik.
Aku melangkah maju untuk membantunya bangun, namun ia ulurkan tangannya untuk menghentikan langkahku. Dia dekap kepalanya sembari tetap duduk di atas salju, dan tak berkata apa-apa.
“Mo…..Zhonghua, kamu…”
Apakah kita pernah saling kenal?
Dia bertanya kepadaku seperti ini, lalu bagaimana aku harus menjawabnya? Ya, kita pernah saling kenal. Dimana? Di Alam Arwah, di tepi sungai Wangchuan…kalau aku menjawabnya seperti ini, aku khawatir dia akan mengira aku sedang bercanda.
Aku menggaruk-garuk kepala: “Mn, kalau kamu merasa aku familiar, artinya ini adalah takdir, takdir!”
“Takdir?” Dia tersenyum mengejek, “Di dunia ini kenapa ada begitu banyak takdir….?”
Mendengar kalimat seperti itu darinya, seperti dia sudah melihat segala hal di dunia ini, aku kerutkan dahiku dan berkata: “Kenapa tidak? Aku bisa bertemu denganmu adalah takdir, bisa berbincang-bincang denganmu di sini juga merupakan takdir.” Aku yang sejatinya sebuah batu bisa datang ke Alam Fana untuk menggodamu juga merupakan sebuah takdir besar. Tentu saja kalimat terakhir ini tidak aku katakan kepadanya.
Dia berbaring di atas salju, dan menatapku lekat-lekat di bawah terang sinar rembulan, setelah beberapa lama waktu berlalu, bibir tipisnya perlahan mengucapkan dua kata—-
“Takdir buruk.”
Aku mengangguk dalam hati, takdir buruk tetap merupakan takdir. Bahkan dibandingkan dengan takdir biasa, takdir macam ini lebih berbelit dan langgeng. Aku merasa senang, tapi setelah aku pikirkan lagi, rasanya ada yang tidak benar. Dari nada bicaranya, seharusnya aku merasa terhina. Seharusnya aku tidak tersenyum dan membuat dia kecewa. Dan juga…aku lirik pose berbaringnya di atas salju.
Benar-benar pose yang sangat menggoda untuk ku serbu!
Aku menunjuk ke arahnya dengan manis dan lembut: “Ka ka kamu! Membuatku sebal!”
Dia memincingkan matanya, ekspresi wajahnya menjadi tak terbaca.
Kemudian aku memutar pinggulku, berlagak marah dan melangkah pergi. Ketika aku berjalan ke arahnya, aku berseru dengan lantang : “Aiya! Licin sekali!” dan dengan memasang pose yang kuanggap cantik, aku tergelincir dan jatuh di atas nya. Dengan menggunakan siasat yang sudah diperhitungkan dengan akurat, seharusnya aku akan terjatuh tepat di dadanya. Persis seperti di dalam cerita ‘gadis cantik lemah gemulai yang dengan malu-malu terbaring di dalam pelukan sang pahlawan’.
Tetapi, tak ku sangka aku tergelincir persis seperti yang dialami Zhonghua sebelumnya, kemudian aku menimpa nya dengan pose yang sama sekali tidak cantik, kepalaku beradu dengan kepalanya. Sayangnya bibir ku tidak beradu dengan bibirnya, tetapi malah menghantam dahinya.
Aku hanya mendengar suara mengerang dari bawah, kemudian tidak ada reaksi lain.
Sewaktu akhirnya aku bangun sembari mendekap kepala ku, Zhonghua sudah terbaring di tanah dan kedua matanya tertutup rapat. Dahinya yang terantuk oleh gigi depanku yang sekeras batu, mengeluarkan darah dari dua lubang berbentuk gigi.
“Uhhh…” Dengan ragu-ragu aku mengulurkan tangan untuk menyentuhnya. “Hey…..” Ku tepuk-tepuk pipinya, tetapi dia tetap tidak merespon. Aku mulai panik. Makhluk ini, jangan-jangan dia terantuk oleh ku sampai semaput dan ketemu Yan Wang. Apalagi Ujian Kehidupannya pun belum berlalu, ini bisa menjadi masalah.
“Zhonghua! Zhonghua! Tak mungkin sampai fatal kan?!” Aku menggaruk-garuk kepala. Bagaimanapun kamu adalah Yang Mulia, kalau sampai mati terbentur oleh seorang gadis seperti ku, ka…ka…kalau ini sampai tersebar, ini bisa menjadi bahan tertawaan orang-orang. Cepat-cepat ku tekan titik-titik akupunturnya, “Ya ampun Moxi, jangan membuat masalah buat ku. Kalau sampai aku memukul mati seorang dewa yang sedang menjalani Ujian Kehidupannya, aku benar-benar akan dikutuk langit, Moxiii…”
Aku menangis sembari tetap memanggil namanya. Tampaknya ia memahami kesulitan yang sedang ku hadapi, karena tak berapa lama kemudian, dia merintih dan pelan-pelan mulai membuka matanya. Dengan riang gembira aku satukan telapak tanganku dan mengirimkan rasa terimakasih ku kepada Yan Wang puluhan kali.
“Guru…” Bisiknya sembari menatapku.
Aku tertegun. Barulah tercium oleh ku aroma alkohol dari mulutnya. Sepertinya tadi dia terpengaruh oleh alkohol, kemudian hilang kesadaran.
“Guru…” Panggilnya lagi, “Mengapa…”
“Apa?” Kalimat yang dia ucapkan setelahnya terlalu pelan, aku tidak bisa mendengar jelas. Maka aku dekatkan telingaku ke bibirnya, berusaha mendengar dengan cermat. Namun kata-kata yang kemudian diucapkannya membubarkan kesadaranku dan membuatku limbung sesaat, dia berkata: “Mengapa kau bisa tumbuh perasaan kasih sayang seperti itu terhadap Hu’yi?”
Mari kita kesampingkan dahulu perasaan kasih sayang seperti apa yang ditumbuhkan oleh gurunya Zhonghua, termasuk bagaimana perasaan kasih sayang itu sendiri bisa tumbuh. Yang membuatku lebih penasaran adalah, gurunya Zhonghua sebenarnya adalah seorang laki-laki atau perempuan?
Kebiasaan bergosip ternyata susah hilangnya.
Aku bertanya penuh ‘diplomasi’: “Gurumu itu laki-laki atau perempuan? Dia jatuh cinta kepada Hu’yi? Seberapa jauh hubungan mereka? Apa yang terjadi setelahnya? Lalu mengapa Hu’yi dikurung di dalam Pagoda? Sekarang gurumu berada dimana?”
Aku mengedipkan mata, menunggu jawaban Zhonghua.
Namun dia malah memiringkan kepalanya dan tertidur.
Aku meremas kepalan tinjuku.
Rasa penasaran yang tak terpuaskan ini membuatku tidak tahan untuk ingin menekan kedua lubang berdarah di dahinya dan menyodok-nyodok nya dengan kesal. Tetapi begitu aku melihat wajah tidurnya yang tenang, aku hanya bisa diam, dan akhirnya menghela napas panjang, pasrah. Kemudian aku merobek rok ku dan kujadikan helai-helai kain untuk membalut lukanya.
Aku pikir karena Chang’an sedang tidur di dalam pondok, kalau aku menyeret masuk Yang Mulia nya seperti ini pasti kurang sedap dipandang, dan juga tidak nyaman bagiku untuk menyambarnya.
Maka setelah aku pertimbangkan, aku seret Zhonghua ke bawah pohon plum, dan ku biarkan dia berbaring di atas pangkuanku. Sementara itu, aku bersandar pada pohon plum tersebut, lalu aku elus dahinya, dan aku genggam tangannya, kemudian kuberikan kecupan di bibirnya. Malam itu aku tertidur lama sekali, tidur paling nyenyak yang aku rasakan setelah waktu yang lama.
Ketika aku bangun keesokan harinya, aku melihat sepasang bola mata yang jernih sedang menatapku. Aku tersenyum dan menyapanya: “Selamat pagi Yang Mulia! Kamu masih disini?”
Dia kemudian menutup matanya dan menarik napas dalam-dalam, sepertinya sedang berusaha keras untuk menahan emosinya. Setelah lama waktu berlalu, dia berkata sembari menahan amarah: “Lepaskan talinya.”
Aku tertawa dengan canggung, kemudian ku lepaskan tali yang mengikat lehernya ke kaki ku dan berkata dengan polos: “Ini karena aku takut kamu akan melarikan diri.”
Tanpa menunggu talinya benar-benar terlepas, dia berusaha untuk bangun dan menatapku dengan dahi berkerut.
Aku merentangkan tanganku, terlihat tidak berdaya: “Aku tahu kamu akan lari begitu kamu terbangun, dan kemudian akan menyangkal fakta bahwa kita telah tidur bersama semalaman. Karena itulah aku khusus menempatkan lusinan sihir pada tali ini. Hanya dengan cara inilah aku bisa membuktikan bahwa semalam kita benar-benar telah tidur bersama. Berdasarkan peraturan kaum manusia, kamu harus bertanggung jawab, Mo…Zhonghua.”
Seiring dengan tiap kata yang aku ucapkan, air mukanya berubah satu tingkat lebih gelap. Sampai pada akhirnya mukanya berubah warna menjadi paduan merah gelap yang langka: “Tak…tak…tak tahu…”
Hampir seharian waktu yang dia habiskan hanya untuk gemetaran, tanpa bisa menyelesaikan kata-kata yang ingin diucapkan. Aku menghela napas dan membantunya menyelesaikan kalimat yang ingin dia katakan: “Tak tahu malu.” Kalau dipikir, bisa membuat Yang Mulia yang biasanya bermuka dingin sampai bisa marah seperti ini, merupakan suatu prestasi yang membanggakan.
Dia menatapku lama, sepertinya sudah menjadi lebih tenang. Ekspresi wajahnya kemudian berangsur-angsur kembali dingin: “Meskipun semalam aku mabuk, aku masih bisa ingat dengan jelas apa yang telah aku lakukan. Kau dan aku bukan makhluk dari kaum yang sama, bagaimana bisa aku melakukan itu denganmu?”
Aku penasaran: “Kalau bukan dari kaum yang sama, tidak bisa ya? Lalu bagaimana dengan gurumu dan Hu’yi?”
Ekspresi wajah Zhonghua seketika menjadi dingin membeku seperti es. Sorot matanya terlihat seperti ingin mencincangku habis menjadi potongan-potongan kecil. Dia kibaskan lengan bajunya dan beranjak pergi. Sementara itu, temperamenku keras kepala, kalau masalah ini tidak dibahas sampai benar-benar jelas, aku tidak akan bisa tidur malam ini. Maka aku segera mengejarnya dan berseru dengan suara keras kepadanya: “Woi! Bagaimana dengan gurumu dan Hu’yi? Apa yang terjadi dengan mereka? Gurumu…”
Aura membunuh yang buas melintas di sisi telingaku, menghantam tanah bersalju di belakang ku, dan menerbangkan butiran-butiran debu salju, berputar-putar sampai membentuk kabut.
Aku tercengang.
“Tutup mulutmu.” Dengan bengis dia mengucapkan kata-kata ini. Lalu dia berbalik badan dan pergi.
Moxi tidak pernah menatapku seperti itu. Bahkan sewaktu ia menyerang kakiku dengan bola api sewaktu di Alam Arwah, tatapannya pun tidak sedingin itu.
Aku hanya pernah satu kali melihat tatapan nya yang seperti itu. Yaitu di kehidupan sebelumnya, saat dua bajingan mendobrak masuk ke dalam rumah dan menggangguku, saat itu dia juga memasang ekspresi wajah ini.
Sepertinya merupakan hal yang sangat tabu baginya ketika ada yang menyebut masalah hubungan gurunya dan Hu’yi. Sepertinya keengganannya terhadap Hu’yi bukan hanya karena diskriminatif terhadap penampilan fisik, tetapi juga ada kebencian emosional. Sepertinya dia sangat peduli terhadap gurunya….
Bahkan sepertinya perasaannya terhadap gurunya….agak tidak biasa.
Karena itu, aku kini semakin perasaan, gurunya sebenarnya adalah laki-laki atau perempuan?
Catatan penerjemah: dalam bahasa aslinya, cerita ini ditulis dengan sangat kocak oleh penulis. Tetapi kadang faktor jenaka tersebut tidak bisa disalurkan ke dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, harap maklum. Penerjemah sudah pol-pol an berusaha mencerminkan poin-poin lucu dari cerita tersebut disini ᕙ(⇀‸↼‶)ᕗ