Novel TranslationSansheng, Wangchuan Wu ShangSansheng, Wangchuan Wu Shang Translation - Chapter 17

Sansheng, Wangchuan Wu Shang Translation – Chapter 17 [INDONESIA]

author Jiu Lu Fei Xiang - Sansheng, Death Exists Not at the River of Oblivion
Jiu Lu Fei Xiang – author of Sansheng, Death Exists Not at the River of Oblivion

Cerita Bonus 1 – Berpisah Meskipun Cinta

Di suatu malam yang terasa sunyi di ibu kota.

Penjaga malam menguap setelah membunyikan gong tanda waktu telah memasuki sepertiga kedua malam (20), lalu ia berkeliling di gang kecil di belakang perumahan sang Perdana Menteri, kemudian mengulanginya lagi dengan lemah tak bertenaga.

20. 三更 sān gēng adalah waktu sekitar jam 23.00-01.00.

Cahaya dari beberapa lilin yang menyala berpendar dari tembok dinding halaman yang rendah di perumahan Perdana Menteri. Penjaga malam berjinjit untuk melihat ke dalam halaman. Kebun bunga plum masih berada di sana. Musim dingin telah berlalu dan bunga plum telah jatuh berguguran, tunas dedaunan pun baru mulai tumbuh bersemi jarang-jarang di sana sini. Saat angin berhembus, hanya dahan-dahan kering yang bergoyang.

Di tengah hutan bunga plum, berdiri sebuah rumah yang sederhana, yang saat ini diterangi oleh cahaya lilin yang lembut. Kabar yang beredar di kalangan rakyat jelata adalah bahwa Tuan Perdana Menteri tidak menyenangi kemewahan, dan dia tidur di kamar dalam rumah yang sederhana ini setiap hari.

Omong kosong! Penjaga malam mencibirkan bibirnya, apanya yang ‘tidur’ di kamar, jelas-jelas Tuan Perdana Menteri hampir tiap malam tidak pernah tidur. Sejak Tuan Perdana Menteri tinggal di perumahan ini, penjaga malam selalu berpatroli di sekitar sini tiap malam, dan setiap malam dia selalu melihat kamar tidur Perdana Menteri menyala terang benderang.

Dibandingkan orang lain, Penjaga malam lebih merasa penasaran; Tuan Perdana Menteri sebenarnya orang yang seperti apa? Dia memiliki kemampuan untuk menguasai dunia, dia hanya tunduk pada satu orang dan dia memiliki kuasa di atas orang lain, namun ia justru senang tinggal di rumah biasa seperti ini. Apakah dia tidak khawatir kalau ada orang yang akan menyerangnya? Apakah dia seperti ini agar orang-orang yakin dia adalah pribadi yang bermoral baik dan jujur? (21) Apakah dia tidak pernah butuh tidur?

21. 身正不怕影子歪Shēn zhèng bùpà yǐngzi wāi peribahasa Cina yang kira-kira artinya jika kau tidak berbuat jahat atau amoral, maka tidak akan merasa takut orang-orang akan mengkritik dan memfitnah.

Tetapi hal-hal mengenai pejabat kelas atas, mana bisa dimengerti oleh seorang penjaga malam macam dia, oleh karena itu ia hanya bisa melanjutkan menguap sembari menebak-nebak segala kemungkinan yang membosankan, sebelum akhirnya ia melangkah pergi dengan sempoyongan.

Penjaga malam tidak menyadari bahwa setelah dia pergi, pintu di rumah kayu sederhana tadi berderit terbuka. Sesosok pria bergegas keluar seperti sedang mengejar sesuatu. Tetapi ketika dia berlari sampai ke halaman yang kosong, langkah kakinya terhenti.

Dia melihat ke sekeliling, semua hampa.

Tubuhnya kurus, wajahnya pucat pasi terlihat tidak sehat. Tampaknya dia baru berusia sekitar 30an tahun, tetapi setengah rambut di kepalanya sudah beruban. Tubuhnya terlihat seperti bisa langsung jatuh sakit begitu terkena hembusan angin malam yang dingin.

Siapa yang menduga pria yang sedang terlihat rentan ini adalah sang Perdana Menteri yang ahli berstrategi dan yang membuat segala keputusan penting di Mahkamah Kerajaan.

Sembari mendesah perlahan, Moxi menertawakan dirinya sendiri: “Lagi-lagi hanya mimpi!”

Di malam musim semi yang dingin, dia hanya mengenakan satu lapis pakaian tetapi dia tidak bergegas langsung masuk ke dalam rumah. Dia hanya berdiri tenang di tengah halaman, dan menatap ke arah bulan yang memudar. Lalu tiba-tiba dia berbisik: “Meskipun hanya mimpi, mengapa tidak membiarkan aku bermimpi sampai selesai?”

Dia mulai melangkah perlahan memasuki hutan bunga plum di belakang rumah. Dia bawah sebuah pohon bunga plum, terdapat sebuah batu nisan kecil yang telah diukir dalam-dalam: “Istriku Sansheng.” Dia sibakkan pakaiannya kemudian duduk di samping batu nisan itu. Dia menatap ke arah cabang-cabang pohon bunga plum dengan bunga-bunganya yang sudah berguguran, lalu dia berkata dengan pelan: “Kenapa kamu tidak pernah datang kembali untuk menemuiku? Apakah kamu tidak meridukanku? Tiap hari siang dan malam aku selalu merindukanmu.”

“Aku sudah membuat permohonan kepada kaisar, agar seluruh klan keluarga jenderal menerima hukuman. Kamu tidak perlu berbuat konyol lagi dengan cemburu kepada Shi Qian Qian, dan kamu juga tidak akan diganggu lagi oleh mereka.”

“Saat aku masih kecil, kamu selalu bilang aku berhati lembut. Kamu tidak pernah tahu, aku hanya berhati lembut terhadapmu. Hanya di depanmu aku seperti tidak tahu harus bagaimana.”

“Sansheng, mohon jawab aku.”

Angin berhembus menyentuh pipinya, dinginnya menembus sampai ke tulang rusuk.

“Sansheng.” Lanjutnya, “Jangan bermain petak umpet dengan Moxi, kamu tahu aku paling takut saat tidak bisa menemukanmu.”

“Aku paling takut saat tidak bisa menemukanmu…..”

“Kenapa kamu bersembunyi dariku sekian lama?”

Mana mungkin ada seseorang yang menjawab dia, mana mungkin ada seseorang yang melompat keluar dari balik pohon bunga plum, mana mungkin ada seseorang yang menatapnya dengan mata tidak berkedip, dan memintanya untuk segera mengatur pernikahan mereka.

“Besok ya, setelah mereka dihukum pancung di alun-alun pasar, dan kamu sudah tidak marah lagi, kamu kembali pulang ya. Aku akan menunggumu.” Dia berkata kepada dirinya sendiri, tanpa memperdulikan bahwa tidak ada siapapun yang akan menjawabnya.

Pada malam ini, Moxi tertidur dengan bersandar pada batu nisan Sansheng sembari mengenakan pakaian panjang yang tipis.

Keesokan harinya, ketika ia sedang berjalan keluar dari ruang Mahkamah Kerajaan, tiba-tiba ia merasa pusing. Pejabat yang berada di samping dengan cepat segera membantu memapah Moxi dan berkata: “Tuan Perdana Menteri, apakah anda sedang tidak enak badan? Saya meihat air muka Tuan terlihat sedang tidak sehat.”

Moxi batuk sedikit sebanyak dua kali dan melambai-lambaikan tangannya untuk menandakan kalau dia tidak apa-apa. Baru saja dia kemudian mengambil dua langkah, batuknya justru menjadi lebih parah dan dia tidak bisa meluruskan badannya untuk sejenak. Pejabat di dekatnya berkata: “Apakah kami perlu melaporkan kepada Paduka Kaisar tentang mengawasi pemenggalan siang ini….”

“Tidak perlu.” Dengan dingin Moxi memotong ucapan pejabat tadi dan menatapnya dengan sinis. Lalu dia berjalan pergi sendirian sembari menutupi mulut untuk meredam batuknya.

Di belakangnya, tidak ada seorang pun menteri yang berani melangkah maju dan berpura-pura menunjukkan kekhawatiran terhadap kondisinya lagi.

Menteri yang ditegur Moxi barusan tersenyum sedikit canggung, kemudian menteri lain yang berada di dekatnya berbisik pelan di telinganya: “Siapapun juga tahu Perdana Menteri telah bertahun-tahun menunggu datangnya hari ini. Yang kamu katakan tadi itu mengundang masalah.”

Wajah orang itu langsung berubah pucat, sembari terus melihat ke arah punggung kurus Perdana Menteri yang semakin menjauh, sampai akhirnya ia hanya menghela napas penuh penyesalan.

Setelah Moxi keluar dari gerbang istana, sebuah pelangkin (TN: tandu) telah disediakan untuknya. Moxi membuka tirai dan hendak masuk ke dalam pelangkin, tetapi tiba-tiba di sudut matanya ia melihat sesosok bayang seseorang yang dia kenal. Dia mendongakkan kepalanya dan ternyata orang itu adalah Pendeta Kerajaan.

Hatinya bergejolak, hingga dia tidak bisa menahan untuk terbatuk-batuk lagi sebanyak dua kali.

Kedua orang ini adalah orang-orang yang angkuh, biasanya mereka tidak akan saling menyapa ketika bertemu, tetapi hari ini Pendeta Kerajaan khusus mencari Moxi.

Pendeta Kerajaan memulai dengan ucapannya: “Hal ini tidak ada hubungannya dengan klan keluarga besar Jenderal. Kebencian ini hanya menyangkut beberapa orang saja, mengapa harus melibatkan orang-orang yang tidak bersalah?”

Moxi kembali terbatuk, dia baru tenang kembali setelah beberapa saat berlalu, kemudian dia berkata sembari tersenyum sinis: “Perkataan anda datang terlambat.”

Pendeta Kerajaan terdiam sejenak, lalu ia menghela napas: “Waktu itu semua adalah kesalahanku. Dosa yang telah aku perbuat, harusnya aku lah yang membayarnya…..”

Moxi mengabaikannya, kemudian dia membungkuk dan masuk ke dalam pelangkin. Perlahan-lahan, pelangkin tersebut membaur dengan keramaian ibu kota.

Alun-alun pasar.

Moxi duduk tegap untuk memantau panggung tempat pemenggalan, dia menatap lekat-lekat tempat dilaksanakannya eksekusi. Di tempat itu pernah didirikan sebuah panggung tinggi, tempat Sanshengnya dibakar.

Sansheng satu-satunya dalam hidup Moxi.

Hatinya tiba-tiba terasa sakit, Moxi mengarahkan pandangannya ke bawah untuk menyembunyikan ekspresi wajahnya.

Waktu sudah mendekati tengah hari, dia lambaikan tangannya dan barisan tahanan yang pertama dibawa naik. Sang Jenderal telah bunuh diri dengan menggigit lidahnya di dalam penjara. Barisan tahanan ini hanya terdiri dari istri-istrinya, tiga anak laki-lakinya dan juga anak perempuan satu-satunya —- Shi Qian Qian.

Moxi menutup bibirnya dan terbatuk sebentar. Penjaga di sebelahnya melihat ke arah matahari dan bertanya kepadanya apakah mereka bisa memulai proses eksekusi. Dia mengangguk. Penjaga tersebut mengangkat tangannya, tetapi ketika perintah untuk memulai belum terucap, seorang wanita dengan rambutnya yang acak-acakan dan wajahnya yang menyedihkan tiba-tiba berteriak nyaring: “Moxi! Di kehidupan berikutnya! Di kehidupan berikutnya aku tidak akan menyukaimu! Dan aku juga mengutukmu agar tidak bisa bersatu dengan orang yang kau cintai! Selamanya kau tidak akan bisa bersamanya!”

Yang menjawabnya hanyalah suara batuk-batuk yang menusuk hati.

Pria kokoh yang berdiri di belakang Shi Qian Qian bergerak untuk menutup mulutnya, tetapi Shi Qian Qian berontak mati-matian dan kembali berteriak: “Di kehidupan ini kau hukum 9 klan keluarga besarku! Jika ada kehidupan selanjutnya, aku kutuk kamu untuk membunuh orang yang kau cintai dengan tanganmu sendiri! Kamu dan dia selamanya tidak akan pernah berakhir bahagia!”

Sewaktu Moxi mendengar perkataan ini, emosinya meluap, amarah di matanya membuat para penjaga di sampingnya bergidik.

Moxi menekan getaran di dadanya, dia ambil token di atas meja dan melemparnya dengan keras ke tanah: “Membuat keributan di tempat eksekusi, kau menambahkan kejahatan di atas kejahatan yang telah kau perbuat, potong pinggangnya!”

Semua orang yang mendengarnya terperanjat ketakutan.

Shi Qian Qian melihat ke arah langit dan tertawa, tampak seperti sudah gila: “Kalian tidak akan pernah berakhir bahagia! Apa kamu pikir dia akan kembali? Dia sudah mati! Sudah mati!”

Tangan Moxi mengepal kencang, nada suaranya yang biasanya lembut dan santun, saat ini lebih dingin menusuk daripada es: “Potong pinggangnya, saya ingin dia melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana seluruh keluarganya diberantas habis.”

Hari itu, darah mengaliri alun-alun pasar. Tangisan dan teriakan wanita itu masih menggema di udara sampai proses eksekusi selesai. Seperti suara hantu yang meratap, menusuk masuk ke dalam gendang telinga. Pada akhirnya, mayatnya dibungkus dengan tergesa-gesa, sama seperti yang lain, entah akan dibuang dimana.

Setelah saat itu, nama harum Perdana Menteri sebagai laki-laki berhati hangat dan lembut tidak terdengar lagi.

Pada malam hari itu, Moxi jatuh sakit, terbaring di tempat tidurnya, tak bisa bangun. Paduka Kaisar meminta tabib kerajaan untuk datang memeriksanya, diagnosisnya ternyata adalah penyakit TBC. Seluruh Mahkamah Kerajaan kaget mendengarnya.

Tetapi yang bersangkutan justru terlihat cuek. Dia mengandalkan obat-obatan untuk bisa melewati hari-hari saat kesehatannya menurun, kemudian setelah itu ia kembali hadir di Mahkamah Kerajaan dan bekerja seperti biasa. Dia tidak mengatakan apa-apa, sehingga tidak ada yang tahu sudah seberapa parah penyakitnya. Dia terlihat tidak ada bedanya dengan orang biasa. Dia pun tidak pernah terlihat batuk terlalu parah.

Seiring berjalannya waktu, orang-orang pun lupa kalau dia mengidap penyakit TBC.

Musim dingin yang panjang kembali datang.

Bunga plum di halaman bermekaran dengan indahnya. Moxi mengenakan mantelnya dan berdiri di depan rumah kayu lalu menatap ke arah hutan bunga plum cukup lama. Hingga perlahan-lahan langit berubah gelap dan dia tidak bisa melihat apa-apa lagi, barulah dia kembali masuk ke rumah dan menyalakan lilin. Diterangi cahaya lilin, wajahnya terlihat pucat memprihatinkan, kedua pipinya berubah cekung, dan lingkaran hitam di bawah matanya semakin melebar.

Dia duduk di depan meja, dan membuka gulungan kertas perkamen, lalu dengan perlahan memulai mensketsa sebuah pohon bunga plum. Setelah ia meletakkan kuasnya, dengan tenang ia mengamati gambar itu, lalu entah apa sebabnya, ia ambil lagi kuasnya dan mulai mensketsa kembali. Sebuah sosok seorang wanita dari belakang samar-samar terlihat di balik pohon bunga plum, dia terlihat seperti sedang mencium aroma bunga plum dan tenggelam dalam wewangiannya.

Moxi menatap wanita di dalam gambar, namun dia juga terlihat seperti tidak sedang melihat apapun. Dia ulurkan tangannya, dan ujung jarinya menyentuh tinta yang masih belum kering di kertas perkamen itu.

Dingin terasa di ujung jarinya sampai menuju ke hatinya, dia kemudian menutup matanya, tetapi dia tidak bisa menahan untuk terbatuk-batuk. Tubuhnya sekonyong-konyong membungkuk, dan dia memuntahkan segumpal darah di atas kertas perkamen. Warna merahnya begitu memukau sehingga terlihat seperti bunga plum yang benar-benar sedang tumbuh di cabang pohon itu.

“Moxi.”

Mendengar seperti ada seseorang yang memanggil namanya, dia langsung membuka matanya. Wanita itu sedang duduk di kursi malas, tangannya masih memegang pakaiannya dan menjahit sehelai demi sehelai untuknya: “Moxi, bagaimana bajumu bisa robek begini? Ada yang mengganggumu? Kamu balas tidak?”

Moxi tidak berani mengedipkan mata, hanya terus menerus menatap dengan konyol.

“Sansheng……..”

Dari luar terdengar suara tanda waktu malam, sosok bayangan itu bergetar lalu menghilang seperti dihembus angin.

Moxi beranjak bangun dan ingin mengejarnya, tetapi tubuhnya tidak menurut, dia jatuh ke depan dan lengan bajunya menyinggung lilin di atas meja.

Lilin jatuh terguling, tapi Moxi tidak ambil peduli, kesedihan di hatinya tak bisa tertahankan lagi. Dia menatap tempat Sansheng menghilang dan berbisik pelan: “Siapa yang akan begadang untuk menjahitkan bajuku…..Sansheng, siapa yang akan rela begadang untuk menjahitkan bajuku?”

Nyala api menjalar ke tirai jendela. Moxi melihat ke arah api yang membara, dan dia hanya tersenyum kecil.

……….

Penjaga malam melewati halaman perumahan Perdana Menteri, dan menyebrangi dua gang. Lalu ia membunyikan gong nya sembari berseru: “Waspada kebakaran o….” Setelah dia berbelok, di sudut matanya dia dapat melihat sekilas nyala api.

Langit di atas perumahan Perdana Menteri menyala terang oleh bara api.

 

The Dewi
The Dewi
"I am so clever that sometimes I don't understand a single word I'm saying"

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


error: Content is protected !!