Novel TranslationSansheng, Wangchuan Wu ShangSansheng, Wangchuan Wu Shang Translation - Chapter 8

Sansheng, Wangchuan Wu Shang Translation – Chapter 8 [INDONESIA]

author Jiu Lu Fei Xiang - Sansheng, Death Exists Not at the River of Oblivion
Jiu Lu Fei Xiang – author of Sansheng, Death Exists Not at the River of Oblivion

Kehidupan Pertama – Berpisah Meskipun Cinta

Bab 8: Mungkin Benar Itu Memang Sebuah Ujian Asmara

Aku tidak ada niatan kabur dari Liubo setelah menghancurkan Pagoda Seribu Kunci. Aku pikir, meskipun aku tidak menyukai reinkarnasi Moxi di kehidupan kali ini, tetapi aku tetap tidak bisa membiarkan dia jatuh ke tangan orang lain. Setidaknya aku harus menjaga kesuciannya, menjaganya terus seumur hidup.

Tetapi para tua bangka Liubo justru membuat masalah, mereka tidak tahu mesti berbuat apa denganku, aku tidak bisa dikurung, tapi mereka juga tidak bisa mengalahkanku, malam itu banyak yang mengalami kerontokan rambut akibat frustrasi.

Akhirnya Moxi lah yang dengan berani berujar: “Kurung dia di belakang tempat saya tinggal. Saya pribadi yang akan mengawasinya.”

Ketika yang lain merasa bimbang dan ragu, aku lah yang pertama menganggukan kepala tanda setuju mendengar ide ini, dan justru menyebabkan Moxi mengernyitkan dahinya dengan geram.

Begitu terpikirkan akan tinggal di tempat yang sama dengannya, dengan besar hati aku mengikhlaskan segala keluhanku tentang dia.

Liubo adalah tempat yang dianggap sebagai Tanah Suci di kalangan yang agamawi, sementara Yang Mulia Zhonghua adalah Pemimpin Liubo, berdasarkan faktor-faktor ini tempat tinggal nya pasti tidak berkekurangan.

Tetapi saat aku dibawa ke belakang tempat tinggalnya, seketika mata ku perih memerah, nyaris meneteskan air mata.

Di belakang tempat tinggalnya yang megah, ternyata terdapat sebuah kebun plum yang damai dan asri, terlihat tidak pada tempatnya dibandingkan seluruh Liubo. Saat ini pun bukan musim dingin, tetapi kebun plum ditutupi salju putih, bunga plum bermekaran dengan indahnya, wangi nya semerbak ke segala penjuru. Sangat jelas terlihat kalau pemandangan ini dibuat dari sihir.

“Bu…bunga ini…” Suaraku sedikit bergetar.

Tempat dimana Zhonghua tinggal tidak bisa dimasuki sembarang orang, oleh karena itu saat ini hanya ada kami berdua di sini. Dia menatap bunga plum yang memenuhi kebun, wajahnya terlihat jauh lebih lembut dan tenang dibandingkan sebelumnya. Kemudian dia menjawabku dengan suasana hatinya yang kini jauh lebih baik: “Ini adalah salah satu dari tidak banyak hal yang saya sukai.”

Aku mengedip-ngedipkan mata, menahan tangis yang mulai mengaburkan pandangan ku.

Moxi, Moxi, padahal kamu telah meneguk ramuan Mengpo, tapi apakah kamu belum melupakan wewangian semilir di jernihnya kilauan salju? Apakah kamu masih mengingat kebun plum yang tenang dan asri?

Zhonghua mengungkung kebun plum ini dalam kekuatan sihir yang membuat bunga-bunga plum di kebun tetap abadi di dalam momen terindah kala bermekaran di musim dingin. Melangkah masuk ke dalamnya, ibarat memasuki sebuah penjara yang indah. Namun aku dengan rela dan segenap hati membiarkan dia mengurungku disini.

Moxi melihatku masuk ke dalam kungkungan sihirnya dan tidak mengucapkan apapun lagi, kemudian dia berbalik dan melangkah pergi dengan acuh tak acuh.

Ku tatapi punggungnya, lalu aku mengulurkan tangan untuk menyentuh salju putih di atas bunga plum merah dengan lembut. Pikiranku tiba-tiba kembali jauh ke masa yang silam saat seorang pendeta tua berjanggut putih menggelengkan kepalanya dan berkata kepadaku: “Ujian Asmara.”

Ya, mungkin benar itu memang sebuah Ujian Asmara.

Ujian Asmara bagi sebuah batu, batu Sansheng…

Beberapa hari ini dikurung, hidupku mulai terasa membosankan, meskipun dikelilingi pemandangan indah, setelah dilihat terus menerus selama dua-tiga hari, lama-lama aku mual juga. Aku terpikir untuk meminta Moxi memberikanku beberapa buku bacaan sebagai hiburan, namun meskipun aku sudah berkeliaran beberapa hari di sekitar batas penghalang, tak pernah sekalipun ku melihat batang hidung Moxi. Aku teramat sangat kecewa.

Hari demi hari aku berebahan di sekitar batas penghalang, menorehkan bentuk lingkaran di tanah, dan dengan putus asa memanggil-manggil nama Moxi. Tentu saja, nama yang ku panggil adalah Zhonghua.

Tapi, meskipun aku memanggil nya dengan gigih, tidak sekalipun dia muncul.

Saat akhirnya aku telah menyerah untuk terus menerus memanggilnya, baru beberapa hari berlalu, sekonyong-konyong dia justru datang.

Saat itu, aku sedang belajar teknik kuno menyeduh teh dengan mencairkan salju. Tentu saja, aku tidak memiliki daun teh di sini, jadi aku potong satu dahan bunga plum, dahannya aku gunakan sebagai kayu bakar, bunga nya kemudian aku seduh, lalu aku pelajari berapa banyak bunga plum yang dibutuhkan untuk bisa dijadikan semangkuk bubur.

Sewaktu aku sedang mempertimbangkan untuk memotong satu dahan bunga plum lagi, Zhonghua hadir dengan muka suram.

Aku tersenyum cerah dan melambai-lambai padanya.

Dia melangkah mendekat, melirik ke arah satu pohon plum yang telah kucabut dan berkata: “Kamu sedang memasak bunga plum?”

Aku mengedipkan mata, tersenyum senang: “Apakah Yang Mulia berpendapat bahwa ini merupakan aktifitas yang elegan?”

Dia mendengus angkuh: “Membakar kecapi dan memasak bangau (12), menurutmu ini adalah sebuah aktifitas elegan?”

12. 焚琴煮鹤 (Fén qín zhǔ hè) pribahasa yang maksudnya dengan sembarangan menghancurkan benda-benda yang indah.

Dengan serius aku berkata: “Tergantung dari kayu apa kecapi itu dibuat, kalau dari kayu yang bagus kualitasnya, daging burung bangau yang dipanggang pasti harum. Burung bangau nya juga tidak boleh terlalu tua. Tidak baik membunuh bangau yang tua.”

Dia menarik napas untuk menenangkan emosinya lalu berkata: “Jangan kau apa-apakan lagi pohon plum ku.”

Aku menggelengkan kepala dan menjawab dengan terang-terangan: “Tidak bisa.” Melihat air mukanya berubah tak enak dipandang, tanda hampir murka, maka aku menjelaskan “Rasa bosan lah yang sebenarnya telah membunuh bunga plum ini, seandainya aku tidak lagi merasa bosan, tentu saja aku tidak akan memperdulikan bunga plum milikmu. Sudah berhari-hari aku berteriak memanggilmu di sekitar batas penghalang, mengapa kamu tidak memperdulikanku?”

“Apa yang kau inginkan?”

“Buku cerita. Buku cerita yang terbaru, dan juga kuaci dan teh.”

“Liubo bukanlah tempat yang memberikan servis kepada orang lain.” Setelah berucap, dia berbalik dan melangkah pergi.

Dengan tenang aku berkata: “Pastilah tidak mudah menumbuhkan pohon-pohon plum ini, tetapi dengan jumlah segini, cukup untuk buat ku bermain sebagai hiburan selama beberapa hari.”

Sosok yang sedang beranjak pergi terhenti sejenak.

Pada hari kedua ketika aku terbangun, ku lihat segundukan buku-buku cerita tergeletak di tanah.

Sembari membalik-balik halaman buku, aku diam-diam tertawa sembari menutupi mulutku. Moxiii, Moxi, di kehidupan ini ternyata kamu adalah seorang tsundere! (13)

13. Istilah Jepang untuk menggambarkan karakter yang sepertinya galak dan dingin di luar tapi lembut dan baik hati di dalam.

Dengan ditemani buku-buku ini, hari-hari yang kulalui terasa jauh lebih baik, kurang lebih hidupku di Alam Arwah juga dilewati bermalas-malasan seperti ini. Apalagi di sini, aku bisa sembari menjaga Moxi, sembari ditemani bunga plum merah di tengah salju berkilau, sungguh terasa nyaman dan menyenangkan.

Pada suatu hari, cuaca cerah berseri, tiba-tiba muncul minatku untuk berjalan-jalan di antara bayang-bayang bunga sembari membaca buku dan menikmati aroma bunga plum. Aku kembali teringat akan masa kehidupan sebelumnya. Masa itu, aku di rumah bermalas-malasan sepanjang hari, sementara Moxi yang baru kembali pulang dari sekolah, dengan diterpa sinar matahari berkilau, membuka pintu dan memanggilku lembut: “Sansheng.”

Aku nikmati memori langka ini, sisa-sisa irama panggilannya yang berharga. Aku menutup mata dan membayangkan Moxi dari kehidupan sebelumnya berjalan bersamaku. Aku maju satu langkah, diapun maju satu langkah, seirama, tepat berada di tempat dimana aku bisa bersandar padanya di saat aku ingin bersandar.

Aku berjalan selangkah demi selangkah, tiap langkah terasa seperti ada Moxi yang menemani. Begitu ku membuka mata, masih terlihat bunga plum merah di tengah salju yang angkuh. Aku melihat ke belakang, dan aku tersentak, Moxi ternyata benar-benar sedang berdiri di samping bunga plum, menatapku lekat-lekat, entah sudah berapa lama.

Aku tertawa gembira, kata ‘Moxi’ muncul di bibirku, namun kutelan kembali dan kurubah menjadi ‘Zhonghua’ untuk memanggilnya.

Aku tak acuhkan kernyit di dahinya.

Sembari melompat-lompat kecil, aku mendatanginya dengan riang sembari membuka kedua belah tangan untuk memeluknya, tapi dia segera menghindar. Aku menyangka aku akan memeluk udara kosong, tetapi tidak terbayangkan aku justru memeluk sesosok kecil yang sedang gemetar hebat. Aku pandangi sosok kecil di dalam pelukanku dan aku terperangah: “Chang’an! Apa yang kamu lakukan disini?”

Anak ini adalah pendeta kecil yang tempo hari mengira aku akan menyambar yang miliknya. Dia begitu mirip dengan Moxi kecil di kehidupan sebelumnya, membuat hatiku tanpa sadar tergerak untuk menyukainya setiap kali aku melihat dia.

Namun dia hanya terus gemetaran, tanpa menjawab pertanyaanku.

Aku melihat ke arah Moxi dengan heran, dan dia menatap Chang’an dengan dingin: “Renungkan baik-baik kesalahanmu,” setelah berbicara dia kibaskan lengan bajunya dan berbalik melangkah pergi.

Melihat gurunya melangkah pergi, Chang’an sekuat tenaga melepaskan dirinya dariku, kemudian berlari dan tergeletak di tanah, meraung-raung dengan air mata dan ingus bercucuran: “Yang Mulia! Yang Mulia! Jangan tinggalkan Chang’an sendirian! Chang’an tidak ingin mati! Chang’an tidak ingin mati!”

Aku menyeka keringatku. Aku betul-betul tak paham apa yang telah aku lakukan sehingga membuat dia begitu ketakutan. Sewaktu seluruh pendeta-pendeta kecil ditepak bokongnya pun, bukankah dia sendiri yang dilewatkan? Anak ini, tak tahu rasa terimakasih, masih takut juga kepadaku?

Moxi kembali mengibaskan lengan bajunya dan melepaskan cengkeraman Chang’an. Dia menatapku sekilas lalu berkata: “Berkelahi dengan teman sekelas, sampai dia terluka parah. Kamu hanya dihukum sebulan untuk merenungkan kesalahanmu di sini, sebenarnya sudah merupakan hukuman ringan. Hentikan tangisanmu, bikin malu.”

Aku mengedip-ngedipkan mata, dalam hati aku telah paham maksud Moxi. Sepertinya, melihat perilaku ku beberapa hari ini membuat Moxi berpendapat aku bukanlah siluman yang haus darah, itulah sebabnya dia bisa berani menghukum muridnya yang berbuat salah ke sini, dengan memanfaatkan reputasi burukku untuk menakut-nakutinya.

Aku hanya bisa mengeluh sendiri dalam hati.

Moxi menepuk-nepuk jubahnya dan beranjak pergi dengan leluasa, meninggalkan Chang’an yang masih tergeletak di tanah sendirian. Dia menangis terisak-isak sampai terlihat seperti kejang, mukanya suram.

Aku tepuk-tepuk kepalanya, Chang’an mengangkat kepalanya dan menatapku dengan matanya yang bengkak. Aku tersenyum ramah padanya: “Mari berbincang-bincang?”

Susah payah aku mengajak anak ini bicara sampai seharian, dengan merayu dan membujuk nya, akhirnya aku tahu dengan jelas kenapa dia dihukum di sini.

Cerita bermula dari saat aku menghancurkan Pagoda Seribu Kunci untuk membebaskan siluman serigala. Aku mengira setelah aku membebaskannya, dengan sendirinya dia akan lari jauh dari tempat ini, melupakan kebencian yang telah lalu. Tapi tak disangka siluman serigala adalah seseorang yang keras kepala. Bukan hanya dia tidak melarikan diri, tapi dia juga mengumpulkan semua siluman yang memiliki kebencian terhadap Liubo dan berencana untuk menghancurkan Liubo dalam sekali terjang. Setelah mengetahui siluman serigala memiliki rencana yang berbahaya, Liubo jelas tidak bisa tinggal diam, mereka kemudian memutuskan untuk mengadakan jamuan dengan mengundang para kepala-kepala biara besar lainnya dan mengajak bersama-sama memikirkan cara untuk menangkal musuh.

Kisah Chang’an berlangsung dari sini. Katanya ketika para pendeta kecil sedang sibuk melakukan persiapan untuk jamuan keesokkan harinya, Chang Wu yang sedang dalam proses penyembuhan, berbaring terus di tempat tidur dan merasa bosan, dia ribut ingin makan buah yang akan disajikan untuk para tamu di jamuan besok. Kebetulan dia melihat Chang’an yang sedang lewat membawa buah-buahan, dia ingin minta mencicip satu buah. Tetapi Chang’an adalah anak yang jujur maka ia menolak untuk memberikan buah. Maka mulailah mereka perang mulut, sampai akhirnya Chang’an tidak tahan dan mendorong Chang Wu.

Dikarenakan Chang Wu sedang cedera, Chang’an tidak sadar telah mendorong Chang Wu sampai dia terjatuh dari tempat tidur. Dia jatuh tertelungkup, kepalanya terantuk dan darahnya mengalir. Adegan inilah yang terlihat oleh para tetua yang sedang lewat. Chang Wu menangis histeris sementara Chang’an tidak bisa membela diri…

Karena itulah, dia sekarang berada di sini.

Hatiku merasa benar-benar tidak senang melihat wajahnya, yang terlalu mirip dengan Moxi di kehidupan sebelumnya, berlinangan air mata dan ingus. Aku gunakan berbagai cara untuk menghiburnya, juga bersumpah untuk membalaskan dendamnya, barulah dia pelan-pelan berhenti menangis. Sembari tersedak-sedak agak lama, dia bertanya padaku:

“Kamu, kamu begitu baik kepadaku, karena ingin membasuhku bersih, kemudian, kemudian menyambar, menyambarku kan?”

Sudut mulutku berkedut, aku benar-benar ingin tahu pemikiran macam apa yang hari-harinya ditanamkan oleh gurunya. Maka aku cubit pipi gembilnya dan tersenyum penuh nafsu: “Menyambar, jelas mau menyambar. Tapi aku hanya ingin menyambar Yang Mulia mu, ingin menyambar dia sampai benar-benar bersih, hingga dia kelelahan dan habis seluruh energinya!”

“Yang, Yang Mulia…”

Aku letakkan tanganku di atas hatiku dan berkata penuh kasih sayang: “Betul, meskipun parasmu enak dipandang, tapi kamu masih terlalu muda. Selain itu, sejak awal hatiku sudah dimiliki Yang Mulia mu. Hatiku penuh dengan sosok bayangnya, dan pikiranku penuh dengan kesantunannya. Sebelum tidur, aku terpikirkan akan suaranya, ketika terbangun aku terpikirkan akan wajahnya. Di saat tak bertemu, aku teramat sangat merindukannya, namun di saat bertemu jantungku berdetak kencang. Entah sudah berapa lama aku telah terpikat padanya, dan aku tidak tahu bagaimana bisa menghentikan perasaan ini. Aku ingin dia tahu perasaanku…”

“Yang Mulia.” Chang’an menunjuk ke arah di belakang ku, menggunakan telunjuknya yang mungil.

Aku pun menoleh ke belakang, tapi aku hanya melihat sekelebat jubah putih melewati pohon plum, mengusik salju putih di cabang bunga plum merah. Dia berjalan terlalu cepat, bahkan bayangannya pun tak terlihat.

Ternyata, dia melarikan diri…

“Benar tadi adalah Yang Mulia? Yang Mulia Zhonghua?”

Chang’an menganggukkan kepalanya, kemudian berpikir sejenak: “Sewaktu Yang Mulia pergi tadi, mukanya merah.”

Aku tercengang, dan menghela napas perlahan. Aku bergumam kepada diriku sendiri: “Moxii, Moxi, mengapa di kehidupan ini kamu begitu tidak berdaya, aku kan hanya membuat pengakuan cinta kepadamu…”

Meskipun malam hari di sini terasa dingin, tetapi tidak menggigit. Aku terbiasa tinggal di tepi sungai Wangchuan, jadi aku tidak merasa takut dengan dingin sedikit seperti ini. Tetapi tidak demikian dengan Chang’an, bagaimanapun tingginya ilmu gaib yang ia miliki, dia masih seorang anak kaum manusia. Aku letakkan sebuah selimut untuk nya di dalam pondok kecil dan ku nyalakan kayu bakar. Kemudian aku tidur di luar sepanjang malam.

Kenapa di luar? Jelas karena begitu anak itu melihatku, dia tidak akan bisa tidur!

Lagipula, aku adalah seorang makhluk spiritual yang baik hati.

Keesokan paginya, aku terbangun melihat Chang’an dengan lembut membungkusku dengan selimut. Melihatku membuka mata, dia menggigil ketakutan dan melangkah mundur. Langkahnya terhuyung-huyung, kemudian dia terjatuh malu. Aku bangun untuk membantunya berdiri, tetapi dia malah merangkak, berguling kemudian lari.

Tanganku yang masih menjulur, melayang di udara dan keningku berkedut. Ingin ku tahan tapi tidak tahan, aku membuka mulut untuk bersumpah serapah. Si anak tengik itu bersembunyi di balik pohon plum, dan mengeluarkan kepalanya: “Nanti…nanti, nanti malam kamu tidur di dalam. Di luar…dingin.”

Aku menatapnya dengan tenang beberapa saat dan menghela napas: “Namaku Sansheng.”

Dia mengedipkan mata, setelah lama waktu berlalu, dengan takut-takut ia memanggilku: “San…Sansheng.”

Aku mengangguk dengan senang dan masuk ke dalam pondok untuk mengambil buku bacaan yang diberikan Zhonghua beberapa hari lalu, kemudian aku bersandar di pohon bunga plum dan membaca dengan nyaman. Kisah ini merupakan kisah pertemuan kembali yang romantis, tentang sebuah cermin yang pecah yang akhirnya bisa disatukan kembali serpih-serpih pecahannya, sangat cocok dengan perasaanku saat ini, maka aku membacanya dengan saksama.

Aku mengabaikan Chang’an, dan diapun tidak berani mengusik ku. Hari ini berlalu dengan sangat damai…ya, jika saja tidak ada jamuan malam itu, bisa dibilang hari ini berlalu dengan sangat damai.

Mengingat semakin dekatnya hari dimana siluman serigala akan menyerang, jamuan untuk menyatukan para kepala biara di Liubo diadakan hari ini.

Kebetulan aku sudah tamat membaca buku bacaanku ketika hari mulai gelap. Ketika aku meihat ke atas, gunung Liubo malam ini terlihat begitu terang benderang, hingga langit malam pun tampak bercahaya.

Ilmu sihir Zhonghua untuk mengurungku benar-benar ampuh, aku tidak bisa menemukan celah untuk keluar sama sekali. Bisa ikut serta dalam keramaian merupakan kesenanganku, tentu saja selain dari menggoda Moxi.

Chang’an tetap tenang di dalam pondok, menunggu waktu tidurnya.

Sebaliknya aku merasa begitu bosan, sehingga aku mengitari sekeliling kebun pohon plum. Ketika aku tetap tidak menemukan celah untuk bisa keluar, aku menyerah dan bersiap berbalik arah untuk berbasuh dan tidur. Tepat pada saat ini, aku melihat dua sosok bayangan berpakaian putih melintasi pintu belakang aula utama. Karena penasaran, aku mendekat untuk melihat lebih jelas. Yo! Bukankah itu Yang Mulia Zhonghua dan pendeta wanita yang dipanggil ‘Mahaguru’…

Saat ini aku hanya melihat pendeta wanita tersebut menarik lengan baju Zhonghua, eskepresi wajahnya terlihat tidak sabaran, tetapi wajah Zhonghua tidak terlihat jelas, tersembunyi dalam bayangan gelap. Gerakan mereka membuat ku berpikir macam-macam…

Aku menggertakan gigiku diam-diam dan mengepalkan tanganku.

Kalian, sebenarnya sedang apa!

The Dewi
The Dewi
"I am so clever that sometimes I don't understand a single word I'm saying"

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


error: Content is protected !!