- Judul Asli: 三生,忘川无殇 (Sansheng, Wangchuan Wu Shang)
- Judul Bahasa Inggris: Sansheng, Death Exists Not at the River of Oblivion
- Penulis: 九鹭非香 (Jiu Lu Fei Xiang)
- Terjemahan / Translation: Indonesia
- List Chapter:
- Sansheng, Wangchuan Wu Shang – Chapter 1 [INDONESIA]
- Sansheng, Wangchuan Wu Shang – Chapter 2 [INDONESIA]
- Sansheng, Wangchuan Wu Shang – Chapter 3 [INDONESIA]
- Sansheng, Wangchuan Wu Shang – Chapter 4 [INDONESIA]
- Sansheng, Wangchuan Wu Shang – Chapter 5 [INDONESIA]
- Sansheng, Wangchuan Wu Shang – Chapter 6 [INDONESIA]
- Sansheng, Wangchuan Wu Shang – Chapter 7 [INDONESIA]
- Sansheng, Wangchuan Wu Shang – Chapter 8 [INDONESIA]
- Sansheng, Wangchuan Wu Shang – Chapter 9 [INDONESIA]
- Sansheng, Wangchuan Wu Shang – Chapter 10 [INDONESIA]
- Sansheng, Wangchuan Wu Shang – Chapter 11 [INDONESIA]
- Sansheng, Wangchuan Wu Shang – Chapter 12 [INDONESIA]
- Sansheng, Wangchuan Wu Shang – Chapter 13 [INDONESIA]
- Sansheng, Wangchuan Wu Shang – Chapter 14 [INDONESIA]
- Sansheng, Wangchuan Wu Shang – Chapter 15 [INDONESIA]
- Sansheng, Wangchuan Wu Shang – Chapter 16 [INDONESIA]
- Sansheng, Wangchuan Wu Shang – Chapter 17 [INDONESIA]
- Sansheng, Wangchuan Wu Shang – Chapter 18 [INDONESIA]
- Sansheng, Wangchuan Wu Shang – Chapter 19 [INDONESIA]
Kehidupan Pertama – Berpisah Meskipun Cinta
Bab 1: Aku Akan Pergi Ke Dunia Fana Untuk Menggodanya
Sejak masa silam, orang-orang yang melewati Sungai Melupakan (1) mulai memanggilku Sansheng (2). Sejak itu, ada dari mereka yang memandang rendah kepadaku, ada yang dengan sembari bergandengan mengukir kisah romansa mereka yang telah lalu padaku, dan ada pula yang berdiri di depanku demi meratap.
1. Sungai Melupakan dinamakan Wangchuan dalam kisah mitologi Cina.
2. Dia di sebut Sansheng yang berarti Batu Tiga Kehidupan, melambangkan kehidupan masa lampau, masa ini, dan masa yang akan datang dalam kepercayaan agama Buddha.
Meskipun demikian, aku hanyalah sebuah batu di tepi Sungai Wangchuan. Aku tidak memiliki rasa duka ataupun sukacita.
Dengan setia aku duduk di tepi sungai Wangchuan selama seribu tahun sampai suatu hari terbentuk jiwa dalam diriku.
Semua makhluk hidup sejatinya akan mengalami Ujian Kehidupan, tetapi aku tetap duduk di tempat yang sama dengan jinak selama lebih dari satu abad lagi sampai suatu hari……
Ujian Asmaraku datang.
Seorang pendeta berjanggut putih yang sedang berjalan melewati pinggir Sungai Wangchuan lah yang membaca pernasibanku. Beliau meramalkan cobaan yang akan mendatangiku sembari mengangguk-anggukan kepalanya penuh kearifan.
Menurutku beliau sedang mengarang bebas.
Aku adalah arwah yang terlahir dari Batu Tiga Kehidupan Sansheng; jiwaku berasal dari batu dan hatikupun terbuat dari batu. Hatiku telah lama terbentuk dari dinginnya kegelapan abadi sepanjang Sungai Wangchuan.
Tak akan ada kepedihan jikalau hati tidak memiliki cinta. Kalau hatiku tidak pernah tergerak, Ujian Asmara yang konon akan hadir, darimana asalnya?
Begitulah yang aku kira.
Tapi kecelakaan bisa saja terjadi.
Pada suatu sore yang suram di Alam Arwah, aku baru saja kembali ke tepi Sungai Wangchuan sehabis berjalan keliling seperti biasa. Akupun menatap ke atas. Pada saat yang sama tanpa diduga, ibarat sinar mentari dari dunia alam fana memancar menembus lapisan kabut tebal, gugusan bunga amarilis sepanjang Alam Arwah seketika berkilauan.
Seorang pria datang mendekat dengan penuh elegan.
Tiba-tiba aku teringat akan kata-kata yang pernah diucapkan seorang wanita yang pernah melewatiku dengan nada pelan bertahun-tahun yang silam, “Sungguh pria terpelajar, begitu elok, begitu santun.”(3)
3. Peribahasa dari Kitab Lagu Wei Feng Qi Ao. Dimana karakter pria terpelajar yang beradab terus dipoles ibarat batu giok.
Setelah seribu tahun, hati batuku bergetar halus.
Sang pria berjalan mendekat, jelas bukan untuk menemuiku, tapi demi menyebrangi jembatan Naihe (4) untuk memasuki Alam Arwah yang berada di belakangku. Tidak mudah untuk bisa bertemu seseorang yang begitu rupawan, oleh karena itu aku terpikirkan ide untuk menciptakan perjumpaan yang indah dengannya.
4. Jembatan yang mesti dilalui semua arwah sebelum bisa bereinkarnasi. Di jembatan ini para arwah akan diberikan racikan minuman oleh Mengpo agar melupakan kehidupan mereka yang sebelumnya dan bersiap untuk bereinkarnasi.
Aku maju ke depan dan dengan lembut menyapanya: “Tuan.” Aku terpikir untuk memberikan bungkuk salam hormat kepadanya sebagaimana yang dilakukan wanita-wanita bangsawan di buku-buku bacaan manusia. Sayangnya buku-buku tersebut hanya menuliskan ‘bungkuk hormat’. Namun tidak mendeskripsikan lengkap seperti apa gerakan dan postur yang dimaksud.
Aku renungkan sejenak, lalu aku putuskan untuk meniru para hantu sewaktu mereka meratap di hadapan Yan Wang (Penguasa Alam Arwah), maka dengan bunyi gedebuk aku segera berlutut dan membenturkan dahiku ke tanah dan melakukan tiga kowtow (sujud dalam adab Cina), lalu berkata kepadanya, “Kalau boleh tahu siapakah gerangan nama mu, Tuan?”(5)
5. Gaya bahasa yang digunakan adalah sebagaimana seorang pria menanyakan nama seorang wanita.
Para dedemit yang berada di sekitarku langsung menarik napas dalam sebanyak dua kali. Sementara pria tersebut tercenung berdiri diam dengan ekspresi terperanjat. Dia belum menjawabku.
Perbuatan apapun mesti dilakukan dengan ketulusan, sebagaimana yang gemar diucapkan oleh duo Penjaga Hitam dan Penjaga Putih Ketidakkekalan (6) : “Ketulusan membuahkan kesuksesan.” Ini merupakan metode jitu mereka untuk bisa membujuk roh manusia yang mereka kawal agar dengan patuh rela ikut dengan mereka.
6. Heibai Wuchang dalam mitologi Cina merupakan dewa yang berpakaian putih dan hitam, dengan lidah panjang yang bertugas mengawal roh manusia yang meninggal ke Alam Arwah.
Karena pria tersebut belum menjawab, aku sempat curiga jangan-jangan aku belum cukup keras membenturkan kepalaku dan dengan demikian artinya belum cukup menunjukkan ketulusanku kepadanya. Maka aku melangkah ke depan sembari terus berlutut dan tanpa menyia-nyiakan waktu aku hantamkan kepalaku ke tanah penuh semangat sebanyak tiga kali lagi.
Sepertinya aku terlalu bersemangat memberikan hormat kowtow sehingga tanah ikut berguncang tiga kali. Para dedemit berdengik ketakutan.
Aku mengangkat kepalaku dan menatapnya dengan muka bersimbah darah. “Kalau boleh tahu siapakah gerangan nama mu, Tuan?”
Kemungkinan muka berdarah-darah ku yang mengenaskan telah membuatnya ngeri. Dia tetap diam.
Lekas aku bersihkan mukaku tapi barulah kusadari kedua tanganku terasa basah! Tak kuduga aku berdarah sebanyak ini.
Akupun memahami kenapa dia tercengang.
Dalam penuh kepanikan, aku cepat-cepat membersihkan mukaku, namun alhasil noda darah tersebut justru jadi terbalurkan ke seluruh tubuh.
Aku menatapnya dengan tampilan tak berdaya.
Di dalam matanya yang indah, pantulan sosokku terekam di sana. Lalu, sepasang mata tersebut melengkung dalam senyuman yang memukau.
Meskipun aku tak tahu apa yang telah membuatnya bahagia, melihat dia senang, akupun memberikan senyuman ramah kepadanya dengan mempertunjukkan dua baris gigiku yang putih cemerlang, tanpa kusadari dengan berbuat demikian aku justru menambahkan unsur horor pada mukaku yang berlumuran darah.
Dedemit yang berada di sebelahku, Jia, dengan gugup membungkuk dan membantuku bangun. Aku menolak untuk berdiri. Dengan napas tercekat dia berbisik padaku, “Sayangku Nona Sansheng! Kau ingin menakut-nakuti siapa dengan muka yang mengerikan itu?! Kau tahu siapa dia?”
Di antara jajaran makhluk halus di Alam Arwah, ilmu gaibku sebenarnya tidak menonjol. Tetapi karena faktor senioritas, semua dedemit berlaku penuh hormat kepadaku. Mereka jarang berbicara padaku dengan nada seperti ini. Aku mengerutkan kening dan bertanya heran kepadanya, “Jelas aku tak tahu dia siapa. Makanya aku sedang bertanya, ya kan?”
Yi kelihatan seperti ia akan muntah darah sebentar lagi. “Nona sayangku! Beliau ini adalah Dewa….” Ia belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika terdengar suara yang ramah.
“Namaku Moxi.”
Dia ulurkan tangannya dan ku jabat dengan sigap. Kemudian ia membalikkan tangannya dan menggenggam pergelangan tanganku.
Pergelangan tanganku adalah titik vital. Saat ini, dia hanya perlu menekan sedikit saja dan akupun akan mengalami kematian yang mengenaskan. Wajah Jia dan Yi yang tak sedap dipandang menjadi lebih mengerikan lagi daripada aslinya. Jia segera memohon ampun, “Tuanku! Tuanku! Nona Sansheng telah tinggal di tepi Sungai Wangchuan seumur hidupnya. Alam Arwah adalah tempat yang bersahaja; gadis ini tidak mengerti etiket. Hendaknya Tuanku memaafkan dia. “
“Sansheng? Nama yang aneh, meskipun agak menarik.”
Aku masih memandangnya. Aku tidak merasa takut karena di matanya tidak terlihat ada niatan membunuh.
Dia mengamatiku sejenak, melepaskan pergelangan tanganku, lalu membantuku berdiri. “Sangat menakjubkan sebuah batu dari Alam Arwah bisa menumbuhkan arwah. Kamu tidak tahu jati diriku, lalu mengapa kau menyembahku sedemikian?”
Aku langsung mengerti. Ternyata bukan karena ketulusanku yang kurang, tetapi justru berlebihan. Dengan jujur aku berkata, “Engkau begitu tampan. Apakah boleh…..” Sayangnya saat ini kosa kata ku mandek. Akibat panik, dengan teledor aku ucapkan kata-kata yang entah sejak kapan tertanam di kepalaku:
Apakah boleh kita godain?
Jia memberikanku tatapan “Kau gila tak ada obatnya”.
Diapun tergelak. “Sungguh makhluk yang terus terang.”
Aku bersuka cita, mengira ucapan tersebut adalah pujian. “Jadi, aku boleh menggodamu?” Aku segera bertanya.
Setelah dipertimbangkan, dia berkata, “Tujuanku kesini adalah untuk Ujian Kehidupanku. Aku tidak akan menetap di Alam Arwah.”
Maksud dia adalah “tidak”. Aku turunkan pandanganku, merasa sedikit kecewa.
“Apakah kau selalu duduk di tepi Sungai Wangchuan?” tiba-tiba ia bertanya.
Aku mengangguk.
Apakah kau ingin keluar untuk lihat-lihat?
Mataku berbinar; aku menggangguk penuh semangat.
Dia tersenyum simpul dan menepuk kepalaku. “Aku sudah menerima hormat kowtow mu yang penuh darah, aku tak mau kamu sia-sia sudah berikan hormat kowtow. Karena kamu ingin meninggalkan Alam Arwah, aku janjikan kamu kebebasan dalam tiga masa kehidupan. Aku akan menjalani Ujian Kehidupanku dalam tiga masa kehidupan, dalam tiga masa kehidupan itulah kamu bisa menikmati kebebasanmu. Setelah aku kembali dari Ujian Kehidupanku, kamu pun juga akan patuh untuk kembali ke tepi Sungai Wangchuan, bagaimana menurutmu?”
Tidak ada yang tidak menguntungkan dari usulannya. Aku mengangguk setuju.
Dia memberikanku segel emas di pergelangan tanganku, “Sebagai makhluk spiritual, kamu harus belajar untuk bisa lebih cerdik. Setelah ini, berhati-hatilah untuk melindungi titik vitalmu.” Diapun menambahkan, “Mereka yang lebih kuat darimu tidak akan sebaik aku.”
Kedua dedemit, Jia dan Yi, menekukkan muka mereka sembari mengawalnya pergi. Aku menyentuh segel emas di pergelangan tanganku.
“Moxi,” Aku memanggilnya.
Sembari berdiri di atas jembatan Naihe, ia menadah Air Melupakan di tangannya dan menoleh ke arahku.
“Bolehkan aku pergi ke dunia Alam Fana untuk menggodamu?”
Pertanyaanku terlalu jujur hingga mengundang luapan cekikikan menyeramkan dari Mengpo yang sedang mengaduk racikan Air Melupakan nya.
Dia ikut tersenyum.
Kalau kamu bisa menemukanku, boleh saja.
Setelah mengucapkan kalimat terakhir ini, dia tenggak air tadi dalam satu tegukan.
Tanpa berpaling dia kemudian masuk jauh ke dalam Alam Arwah. Aku tetap memandangi sosoknya pergi, dan tak rela menolehkan pandanganku bahkan setelah dia menghilang dari penglihatan.
Yi berjalan balik dari jembatan Naihe dan melambaikan tangan bangkainya di depanku, sembari memanggil, “Nona Sansheng!”
“Ha?”
“Nona Sansheng, apakah jangan-jangan kamu ada tumbuh perasaan untuk dia?”
Aku akhirnya menoleh ke arah Yi dan bertanya penuh kesungguhan, “Apa yang dimaksud dengan tumbuh perasaan?”
Yi mendongakkan kepalanya sembari berpikir. “Sebagaimana yang digambarkan wanita-wanita dan pria-pria di banyak buku yang kau baca itulah yang dinamakan ‘tumbuh perasaan’.“
Aku renungkan perkataannya sejenak. Di buku-buku yang sering aku baca itu, sang lelaki biasanya berjumpa dengan si gadis, lalu si gadis membungkuk memberikan hormat, kemudian mereka saling bercakap-cakap, lalu mereka akan memulai berbagai aktifitas penuh uh uh ah ah tanpa bisa menahan diri. Aku tak pernah terpikirkan untuk melangsungkan uh uh ah ah dengan Moxi, maka tampaknya aku memang tidak ada tumbuh perasaan untuknya.
Dengan mantap aku menggelengkan kepala. “Aku belum ada tumbuh perasaan padanya.”
Yi menghela napas panjang dan bergumam sendiri, “Benar juga, bagaimana mungkin sebuah batu bisa memiliki perasaan? Aku berpikir terlalu jauh.” Seketika dia menatapku dan berkata, “Intinya adalah, lebih baik kamu jangan ada tumbuh perasaan kepadanya! Di dunia ini tidak ada yang lebih menyiksa daripada ‘cinta’. Bukan berarti nona Sansheng tidak boleh menyukai siapapun. Tapi Tuan Moxi adalah seseorang yang tidak bisa disukai wanita manapun.”
“Kenapa begitu? Dia adalah laki-laki tertampan dan tersantun yang pernah aku temui.” Aku diam sejenak, kemudian menambahkan, “Dan dia memiliki suara paling merdu untuk didengar.”
“Justru karena semua hal tentang dia begitu sempurna lah makanya kau jangan sampai jatuh hati padanya! Tuan Moxi adalah Dewa Perang dari Alam Dewa. Meskipun di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin, tetapi dia hanya peduli akan masalah kesejahteraan dunia. Kalau hatinya sudah penuh memikirkan rakyat jelata, apakah masih ada tempat untuk cinta?”
Apakah Moxi memiliki tempat di hatinya untuk cinta, tidak ada urusannya denganku, tapi bagian pertama dari perkataan Yi membuatku terdiam sejenak. “Bagaimana bisa dia menerima tugas menjadi Dewa Perang? Jelas-jelas dia adalah orang yang sangat baik hati.”
Yi hampir menyemburkan semangkuk darah. “Baik hati? Kamu tidak betul-betul berpendapat begitu……kan?”
Ketika dia melihatku mengangguk, Yi menggeleng-gelengkan kepalanya lemah tak berdaya sembari berkata, “Sewaktu klan Iblis menyerang Alam Dewa dengan 100,000 orang tentara perkasa, Tuan Moxi memimpin 30,000 orang pasukan Alam Dewa dan membinasakan mereka semua. Setelah itu, dia memimpin pasukannya untuk menyerbu ibukota Alam Iblis dan membantai seluruh klan Iblis; darah mengalir deras saat itu. Dalam sedekade ini, tidak ada suara terdengar dari kaum Iblis. Dikarenakan semua Iblis di atas umur 3 tahun sudah habis dibasmi.”
Aku samar-samar ingat kejadian ini. Saat itu, Alam Arwah menjadi penuh sesak. Luapan ratapan hampir mengoyak-ngoyakkan istana Yan Wang; jembatan Naihe pun hampir ambruk terpijak-pijak. Meskipun kaum Iblis kabarnya dibunuh oleh Moxi, dalam kenyataannya perang adalah perjuangan hidup dan mati. Moxi sebagai Dewa Perang memiliki kewajiban untuk menggunakan kekerasan demi menekan pembelot. Kesetiaannya adalah untuk kaumnya sendiri. Kekejaman adalah hal yang lumrah dalam peperangan.
Aku tepuk bahu Yi. “Terimakasih sudah memberitahuku akan hal ini. Sekarang aku akan menuju pulang ke batu untuk berkemas.”
Yi bingung. “Kamu mau kemana Nona?”
Aku nyengir.
“Aku kan pergi ke dunia Alam Fana untuk menggodanya.”