Novel TranslationAscending, Do Not DisturbAscending, Do Not Disturb Translation - Chapter 1

Ascending, Do Not Disturb Translation – Chapter 1 [INDONESIA]

Yue Xia Die Ying author Ascending, Do Not Disturb

Bab 1: Keajaiban

Pada musim dingin di tahun ketiga Jinghong, kepingan salju sebesar bulu angsa menari-nari bebas di seputar kota Jing, ibu kota negara. Daratan putih nan luas, menambahkan sedikit kesan bersih di tanah makmur yang sarat dengan hasrat ini.

Di jalanan, para pedagang yang mengenakan pakaian tebal seperti menciut kedinginan, namun tidak lupa untuk berseru menjajakan dagangannya. Tiba-tiba terdengar suara genderang di kejauhan, orang-orang dan para pedagang memberi jalan. Lantas, sepasukan tentara berbaju besi perak berdatangan untuk mengawal sebarisan kereta-kereta kuda. Kereta-kereta kuda ini berhiaskan batu-batu permata yang indah mempesona, lonceng tembaganya bergemerincing. Para penduduk kota Jing yang agak kurang berwawasan seketika paham, ternyata ini adalah rombongan para gadis bangsawan yang sedang berpergian, pantas saja mereka menabuh genderang untuk membuka jalan dan orang lain yang tidak berkepentingan harus minggir semua.

Derap kaki kuda menghamburkan salju kotor berwarna abu-abu keruh di tanah. Kereta-kereta kuda yang megah bergerak perlahan melewati kerumunan orang-orang sembari membawa aura dingin yang angkuh.

Kereta kuda yang terbuat dari kayu hitam dan berada di barisan paling belakang, berukirkan pola burung phoenix. Meskipun dirawat dengan sangat bersih, namun ia tidak semegah kereta-kereta kuda lain yang berada di depan dan justru terlihat usang ditempa waktu.

“Berhenti.”

Terdengar suara gadis kecil yang belum beranjak dewasa dari dalam kereta kuda itu, para tentara penjaga yang berada di sekitarnya ragu-ragu untuk sesaat, baru kemudian memberhentikan kereta kuda. Seorang tentara datang membawa bangku pijakan, lalu seorang pelayan istana membungkuk hormat dan berdiri di depan kereta kuda dan mereka ulurkan tangan mereka ke arah tirai kereta kuda, namun sorot mata mereka seperti sedang mencemooh dan menahan diri.

Seorang putri dari dinasti sebelumnya yang dibesarkan oleh kaisar hanya sebagai maskot, demi mempertontonkan kebaikan hati dan budi luhur dirinya sendiri, hanya bisa mendapatkan rasa hormat palsu.

Seketika seorang gadis kecil yang usianya belum genap 10 tahun melangkah keluar dari kereta kuda. Ia mengenakan mantel brokat, dan memasang jepit rambut kelinci di kepalanya, putih bersih cantik jelita. Dia melompat turun dari kereta kuda, dan mengabaikan salju kotor di tanah lalu berlari menuju suatu sudut jalan.

Terdapat sebuah kios asongan kecil di sudut jalan itu, cairan gula yang sudah mendidih sedang direbus di dalam kuali. Seorang pria tua yang mengenakan jubah abu-abu menundukkan kepalanya untuk membuat lukisan gulali. Ketika ia melihat seorang gadis kecil yang menggemaskan berlari ke arahnya, wajahnya tersenyum ramah: “Apakah Yang Mulia ingin membeli lukisan gulali?”

Seorang tentara yang mengawal gadis kecil itu samar-samar merasa ada yang aneh dengan lelaki tua ini, namun ia tidak bisa mengutarakan apa sebabnya. Ia memberikan hormat kepada gadis kecil tadi sembari berkata: “Yang Mulia, tubuh anda mulia dan agung, tidak bisa (makan) sembarangan.”

Paduka kaisar ingin menjadikan putri dari dinasti sebelumnya ini sebagai maskot, oleh karena itu sebagai pengawal tuan putri, mereka harus terus memastikan sang maskot bisa terus hidup dengan baik. Siapa menyangka setelah ia selesai berucap, putri kecil tersebut langsung menoleh dengan tatapan penuh harap, membuat pengawal terdiam cukup lama dan tak mampu menahan untuk berkata, “Jika Yang Mulia menyukainya, maka boleh beli beberapa untuk dibawa pulang, tetapi tidak boleh makan banyak-banyak.”

Sebagai pimpinan militer, ternyata dia tidak memiliki perlawanan terhadap seorang anak kecil yang menggemaskan.

“Yang Mulia suka bentuk seperti apa?” Senyum di wajah lelaki tua itu semakin hangat, jarinya menunjuk ke arah berbagai lukisan gulali yang dilekatkan pada batang Jerami. Ada bentuk tentara, perempuan, bunga, binatang, bahkan ada juga bentuk pegunungan dan sungai yang terlihat seperti hidup. Kong Hou juga tidak tahu bagaimana dia bisa melihat kios asongan kecil yang menjual lukisan gulali ini dari kejauhan, lalu dia pun kemudian langsung turun dari kereta kuda tanpa mempedulikan apapun. Meskipun ia sebentar lagi berusia 10 tahun, tetapi di dalam ingatannya, dia hanya pernah pergi keluar dari istana sebanyak 3 kali.

Kali pertama adalah saat para pemberontak menyerbu ke dalam istana, dan para abdi istana membawanya untuk melarikan diri, namun belum lari sampai ke gerbang kota, mereka sudah ditangkap kembali oleh tentara pemberontak.

Kali kedua adalah setelah kaisar baru naik tahta dan kemudian menobatkan dirinya, putri dari dinasti sebelumnya, sebagai Putri Pingning. Lalu dengan penuh hingar bingar membawanya ke sebuah upacara untuk memberikan sesembahan. Sebagian besar warga ibu kota memuji kebaikan hati kaisar. Dari balik tirai jendela, dia dapat melihat rasa penasaran dari orang-orang yang lalu lalang. Dia merasa ibarat seekor singa emas yang dipelihara di Taman Binatang dan orang-orang ini adalah penonton yang sedang mengagumi binatang buas di istana.

Hari ini adalah kali ketiga, anak perempuan kesayangan kaisar telah kembali ke kota Jing, dan para wanita bangsawan pergi ke tepi kota untuk menyambutnya.

Kong Hou merasa sangat gembira, dia sangat ingin agar kaisar baru memiliki lebih banyak lagi anak-anak perempuannya yang telah menikah. Dengan begini, tiap kali mereka kembali pulang, dia bisa memiliki kesempatan untuk keluar istana. Mendengar pemilik kios bertanya kepadanya, Kong Hou menunjuk lukisan seorang dewi: “Aku ingin yang ini.”

“Baiklah.” Pemilik kios menyendok sirup gula yang telah direbus dan dengan cepat mulai melukis di atas papan kayu. Gerakannya sangat terampil, eskpresi wajahnya fokus ibarat sedang mengerjakan pekerjaan yang sangat penting dalam hidupnya.

Kong Hou membelalakkan matanya tanpa berani berkedip, dia takut akan melewatkan proses yang ajaib ini. Kepingan salju melayang dan mendarat di wajahnya, dinginnya membuat wajahnya merah merona. Pemilik kios tidak tahan untuk berkata: “Tuan Tentara, hari ini salju nya lebat, Yang Mulia masih kecil, jangan sampai beliau masuk angin.”

Tentara pengawal akhirnya baru tersadar, dan ia segera melambaikan tangannya untuk memanggil pelayan istana agar memayungi Kong Hou. Saat ini, barulah ia menyadari apa yang aneh, yaitu karena lelaki tua ini tidak kelihatan ada rasa takutnya sama sekali saat menghadapi mereka, sama sekali tidak kelihatan seperti rakyat biasa.

Pemilik kios mengedipkan matanya dan tersenyum kepada Kong Hou. Kong Hou menutup bibirnya dan tidak mengeluarkan suara apapun, matanya membentuk bulan sabit. Dalam sekejap lukisan gulali telah selesai dibuat. Keahlian tangan penjaga kios sungguh luar biasa, lukisan gulali seorang dewi tersebut terlihat jernih bening seperti kristal, sosok dewi yang sedang terbang di langit itu pun membawa aura surgawi yang misterius.

“Cantik sekali, ini adalah lukisan gulali terindah yang pernah kulihat.” Meskipun baru kali ini dia melihat lukisan gulali.

“Putri Pingning.” Seorang petugas istana wanita yang mengenakan pakaian musim dingin berwarna biru datang mendekat, dia berkata tanpa ekspresi di wajahnya: “Yang Mulia harus segera berangkat.”

Tak jauh di belakang petugas istana wanita itu, beberapa wanita bangsawan berdiri di sebelah kereta kuda mereka. Mereka menundukkan kepala sembari saling berbisik, terlihat jelas sedang memperolok Kong Hou. Putri dari dinasti sebelumnya yang dahulu maha agung dan mulia, sekarang seperti itu saja nasibnya. Dengan diam-diam menertawakan Kong Hou, hal ini mampu memberikan mereka rasa kepuasan tersendiri.

Tetapi reaksi Kong Hou sering kali menyebabkan rasa kepuasan itu turun drastis, karena ia justru tidak bereaksi apapun meskipun diperolok seperti ini, tidak sedih, tidak marah, bahkan juga tidak merasa takut. Dia akan menatap mereka dengan matanya yang terbuka lebar, seolah-olah merekalah yang bersikap tidak masuk akal.

Kali ini reaksi Kong Hou pun tetap sama. Dia mengambil sebongkah kacang perak dari kantong nya dan memberikannya kepada pedagang kios, sembari mengabaikan ekspresi dingin wajah petugas istana wanita. Dia berkata kepada pedagang kios: “Lukisan gulali mu sangat indah, persis seperti yang dituliskan di dalam buku-buku cerita.”

Rambut dan janggut pedagang kios itu telah memutih semua, baju yang dikenakannya pun telah usang. Di cuaca yang dingin seperti ini, dia masih keluar berjualan lukisan gulali, sepertinya kehidupannya tidak mudah. Dalam hati Kong Hou berpikir, kalau ia memuji orang tua itu, kemungkinan ia akan merasa senang.

Kehidupan rakyat biasa tidaklah mudah, meskipun dia tidak mengerti, tetapi dia pernah membacanya di buku.

“Yang Mulia!” Wajah petugas istana wanita itu berubah suram, dia berkata dengan nada dingin: “Dimana etiket anda?”

Dengan berhati-hati, Kong Hou mengambil lukisan gulali yang telah dibungkus kertas nasi, ia kerut-kerutkan hidungnya sembari memunggungi petugas istana itu. Saat ia berbalik badan dan berhadapan dengan petugas istana tadi, ia tetap memperlihatkan wajah yang imut menggemaskan: “Terimakasih bibi sudah memperingatkan.”

Petugas istana wanita itu lalu tersenyum dengan senyuman yang tidak tulus: “Bagus kalau Yang Mulia sudah paham.”

Kong Hou berlagak seperti tidak melihat pandangan mata yang menghina dari petugas istana itu. Dia bersiap kembali masuk ke kereta kuda sembari menggenggam lukisan gulali. Namun tidak sengaja, ia menginjak lumpur di tanah dan menyipratkan beberapa tetes lumpur ke rok petugas istana wanita itu.

Petugas istana wanita itu menatap bintik-bintik lumpur di atas roknya, air mukanya sangat tidak enak dipandang, namun ia tidak berani bersikap tidak hormat dengan terang-terangan depan Kong Hou.

“Yang Mulia, sebagai seorang wanita, dalam berucap tidak boleh terlalu cepat ataupun terlalu lambat, dalam bersikap harus terukur……” Sebelum petugas wanita itu selesai berbicara, angin bertiup kencang, bersiul mengikis kepingan salju, lalu salju yang dinginnya menusuk sampai ke tulang itu menghantam wajahnya, ibarat pisau tumpul yang mengiris daging, rasa sakitnya luar biasa.

Hembusan angin berlalu dengan cepat, pelayan istana yang memayungi Kong Hou menoleh dan menatap ke belakang, kemudian sembari mengabaikan payung yang rusak diterpa angin, ia berteriak kencang.

Petugas wanita terperanjat mendengar suara teriakan, maka ia bersiap hendak menegur pelayan yang tidak tahu aturan ini. Tetapi belum sempat ia berbicara, ia terdiam, terpana melihat pemandangan di depannya.

Sinar warna warni memenuhi langit seperti ada penghuni surgawi yang turun dari langit. Dan orang tua pembuat lukisan gulali tadi kini telah menghilang. Sudut jalan itu kosong melompong, seperti sebelumnya tidak pernah ada siapapun di sana.

Gosip menyebar cepat di kota Jing, yang intinya adalah Kaisar Jinghong telah menerima mandat dari langit, dan bahkan para dewa turun dari langit karena beliau. Kaisar Jinghong lalu memanfaatkan peristiwa ini untuk mengadakan Ujian Kekaisaran (1), sehingga beliau menerima banyak pujian dari kaum terpelajar dan dikenal di kalangan rakyat sebagai kaisar yang penuh kebajikan.

1. 开恩科 Kāi’ēn kē ujian kekaisaran yang diadakan pada peristiwa-peristiwa khusus. Pada masa Tiongkok kuno, ujian ini digunakan untuk mencari pelajar-pelajar berbakat yang kemudian direkrut untuk bekerja membantu birokrasi kaisar.

Semasa dia menjadi putri dari dinasti sebelumnya, Kong Hou memiliki ayah yang pemboros. Ayah ini tidak gemar dengan wanita-wanita cantik tetapi dia menyukai musik, dan memiliki banyak musisi di istananya (TN: di haremnya). Dia mengabaikan urusan pemerintahan, sehingga memberikan kesempatan bagi menterinya yang tidak setia untuk membelot dan menguasai pemerintahan, yang pada akhirnya menimbulkan kemarahan oleh rakyat.

Saat dinasti sebelumnya digulingkan, selain para pejabat senior konservatif yang mengkritik kaisar baru sebagai seseorang yang tidak loyal, keji dan berambisius, tidak ada lagi yang protes menyampaikan rasa tidak puas.

Menjadi kaisar yang berakhir dengan cara seperti ini sebenarnya dianggap telah mencoreng para leluhur. Namun Kong Hou tidak memiliki pendapat apapun mengenai ayahnya sendiri yang pemboros. Hanya saja, dia meratapi lukisan gulalinya yang telah direnggut. Sejatinya itu adalah lukisan gulali pertama yang pernah ia terima dalam hidupnya.

Sementara yang merebut lukisan gulali tersebut adalah kaisar saat ini, apa daya, tentu saja ia hanya bisa menurut dan mempersembahkan lukisan gulali itu dengan kedua tangannya. Setelah Kaisar Jinghong mengambil lukisan gulali itu, ia memerintahkan abdi istana untuk mendatangkan banyak lukisan-lukisan gulali lainnya dengan semua aneka rasa dan warna. Namun Kong Hou merasa semua lukisan gulali ini tidak ada satupun yang bisa menandingi lukisan gulali miliknya. Sensasi berdiri di sebelah kompor, perasaan menunggu penuh harap saat lukisan gulali sedang dibuat, adalah cita rasa yang tidak bisa dibandingkan dengan lukisan gulali lainnya.

Tanggal tiga puluh pada bulan ke dua belas, perjamuan tahunan.

Kong Hou mengenakan pakaian yang telah disiapkan oleh abdi istana, dan membiarkan mereka mendandaninya menjadi seperti seorang dewi surgawi yang cantik untuk kemudian menghadiri perjamuan istana. Di antara yang hadir menghadiri perjamuan istana adalah para menteri dari dinasti sebelumnya. Saat mereka melihat Kong Hou didandani dengan begitu glamor, hati mereka merasa lebih tentram.

Paduka kaisar masih tetap memperlakukan putri dari dinasti sebelumnya dengan istimewa, apalagi cara beliau memperlakukan para menteri dari dinasti sebelumnya seperti mereka, yang kompeten dan berbakat.

Kong Hou tidak memperdulikan apa yang dipikirkan oleh para menteri itu, dia hanya menundukkan kepalanya untuk makan, biasanya dia tidak bisa makan makanan seenak ini. Di sudut ruangan, para musisi memainkan melodi yang merdu. Seorang musisi wanita dengan gaya rambut Fei Xian Ji (2) memetik senar alat musik harpa Cina Konghou (3) yang berhiaskan burung phoenix di kepalanya, dengan tangannya.

2. Model gaya rambut yang kira-kira bentuknya seperti ini:

3. 箜篌 kōnghóu adalah nama alat musik petik dari Cina kuno yang berbentuk harpa. Konghou dengan kepala phoenix diperkenalkan dari India pada Dinasti Jin Timur (317-420M). Bentuknya kira-kira seperti ini.

Konghou berkepala phoenix ini adalah persembahan yang diberikan oleh seorang pengrajin terampil kepada kaisar dinasti sebelumnya. Sang kaisar dari dinasti sebelumnya ini teramat menyukai Konghou berkepala phoenix tersebut, dan pada masa ini tepat sekali putri satu-satunya telah lahir. Maka ia menamakan putrinya tersebut sebagai Kong Hou.

Nama ini kedengaran seperti diberikan secara sembarangan, namun sang kaisar memang tidak mencintai permaisuri, dan ia tidak menyayangi putrinya, dia hanya terobsesi dengan musik. Meskipun permaisuri merasa tidak puas, tetapi apa daya? Oleh karena itu, meskipun Kong Hou masih berusia muda, tetapi sejak awal ia telah mengetahui, reinkarnasi itu tergantung keberuntungan. Kalau keberuntunganmu tidak bagus, maka kau akan memiliki seorang ayah yang tidak bisa diandalkan, bahkan nama yang baik pun tidak bisa didapatkan.

Sekarang dengan memainkan lagu menggunakan alat musik Konghou berkepala phoenix tadi, maka itu sama saja dengan sedang menghina Kong Hou. Tetapi orang yang memberikan perintah untuk menggunakan alat musik Konghou tersebut adalah sang putri agung (TN: Grand Princess), adik perempuan kandung dari kaisar. Oleh karena itu, meskipun dalam hati orang-orang yang menyaksikan telah paham akan maksudnya, mereka hanya bisa berpura-pura tidak tahu apa-apa.

Suami dari putri agung tewas di tangan jenderal dari dinasti sebelumnya, maka putri agung sangat membenci kaisar sebelumnya, dan juga membenci Kong Hou sebagai sisa-sisa peninggalan dari dinasti yang lalu. Kalau bukan karena putri agung telah memaksakan diri untuk tetap berpikiran waras, dan tahu untuk tidak mempermalukan seorang anak yang belum genap berusia 10 tahun di hadapan para pejabat, dia sudah akan menyerang Kong Hou secara verbal.

Sayangnya cara dia mempermalukan Kong Hou dengan tersembunyi seperti ini tidak memiliki efek apa-apa pada Kong Hou. Sejak awal sampai akhir, selain tersenyum kepada para wanita bangsawan dengan kedua mata besarnya yang lugu dan indah, putri dari dinasti sebelumnya ini hanya menundukkan kepalanya dan makan, sama sekali tidak sadar dirinya sedang dipermalukan.

Hal ini menyebabkan putri agung tidak merasakan puas sedikitpun. Ia menggebrak gelas arak di tangannya ke atas meja dan berkata kepada Kong Hou: “Putri Pingning, bagaimana pendapatmu akan Konghou berkepala phoenix ini?”

Kong Hou mengedip-ngedipkan matanya dan mengamati alat musik itu beberapa saat lalu menjawab: “Cukup bagus.”

Putri Agung menunggu ucapan selanjutnya.

Tetapi Kong Hou hanya menatapnya dengan mata bulatnya, seperti sedang bertanya-tanya, apa lagi yang ingin dia dengar, pemikiran orang dewasa benar-benar aneh.

Putri Agung memahami arti tatapan mata ini, dan dalam hati…..ia semakin jengkel. Rasanya dia ingin melempar meja, tetapi disini adalah perjamuan istana, dia masih ingin punya muka.

Para wanita bangsawan lain tahu bahwa Putri Agung tidak menyukai Kong Hou. Saat mereka melihat air muka Putri Agung menjadi tidak enak dipandang, semua mulai bergosip dan tertawa, tetapi yang mereka bicarakan adalah cemoohan terhadap dinasti sebelumnya sekaligus pujian atas dinasti saat ini. Dan mereka melakukan ini dengan sangat jelas, bahkan menggunakan kata-kata pedas untuk mengejek Kong Hou.

Kong Hou meletakkan sumpit peraknya, kemudian tersenyum manis kepada para orang dewasa yang konyol ini.

Ada beberapa kata-kata yang bisa diungkapkan dengan senyuman, kalau satu belum cukup, maka berikan dua.

Meskipun masih muda belia, tetapi Kong Hou berjiwa besar, dan dia pengertian terhadap orang lain.

Namun para wanita bangsawan itu justru selalu dibuat kesal oleh senyumannya yang macam ini, mereka bahkan tidak mengetahui apa sebabnya.

Di saat mereka akan mulai marah kembali, langit tiba-tiba bercahaya perak bersinar menyilaukan, menerangi seluruh langit di atas istana.

Semua orang mengangkat kepala mereka, tercengang.

Kong Hou menangkup wajahnya dan menatap ke atas. Wahai leluhur 18 generasi keluarga Ji, apakah dia sedang melihat seorang dewa?

TN: Akhirnya kita memulai terjemahan baru dengan Ascending, Do Not Disturb. Salah satu karya favorit dari penulis web novel kesukaanku, Yue Xia Die Ying 月下蝶影 alias Tang Yonghui 唐永慧. Aku suka buku ini karena karakter Kong Hou sangat menggemaskan, namun kisah hidupnya tragis. Plost yang seperti ini selalu menjadi daya tarik buat aku untuk mengikuti suatu cerita. Sama seperti saat dahulu pertama kali membaca buku Harry Potter, adalah karena aku kasian dengan Harry. Aku bertanya-tanya saat itu, Harry bakalan bisa keluar dari gudang di bawah tangga dan punya kamar sendiri ga ya?

Tenang, cerita Kong Hou hanya di awalnya saja kasian, berikut-berikutnya ga begitu kok. Dan Kong Hou tetap manis kepribadiannya. Semoga cerita ini bisa menjadi favorit kamu juga.

 

The Dewi
The Dewi
"I am so clever that sometimes I don't understand a single word I'm saying"

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here


error: Content is protected !!